Sabtu, 07 Desember 2013

Pengantar Sosiologi Sastra



1.      Klasifikasi Bagan
Karya diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra adalah lembaga social yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial.
Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.
Sederet pernyataan di atas menunjukkan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, bahwa hubungan yang ada antara sastrawan, sastra, dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari. Boleh dikatakan sastra berdampingan dengan lembaga sosial tertentu dalam masyarakat primitif, misalnya kita sulit memisahkan sastra dari upacara keagamaan, ilmu gaib, pekerjaan sehari-hari, dan permainan, dalam zaman kita ini pemisahan itu dapat dilakukan meskipun tidak sepenuhnya. Lebih jauh lagi, sastra bias mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Istilah itu pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosiokultural terhadap sastra. Semua pendekatan tersebut menunjukkan satu kesamaan perhatian terhadap sastra sebagai lembaga sosial, yang diciptakan oleh sastrawan anggoata masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Pendekatna ini bergerak dari faktor-faktor diluar sastra. Dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap utama, ia hanya merupakan epiphenomemon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan.
Wellek dan Warren (1956:84) membuat klasifikasi yang singkatnya sebagai berikut : pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial., ideology sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri. Yang ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
Klasifikasi di atas tidak banyak berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt (1964:300-313) yang membicarakan tentang hubungan timbale balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat.
Pertama, Konteks sosial pengarang. Ini hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat penbaca. Yang meliputi : (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya
(b) profesionalisme dan kepengarangan, sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi
(c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakat.yaitu meliputi : (a) sastraitu sendiri, (b) sifat ”lain dari yang lain”, (c) Genre sastra.
Ketiga, fungsi sosial sastra, dilihat dari (a) sudut pandangan ekstrim kaum romantic, (b) dari sudut sastra bertugas sebagai penghibur belaka, (c) semacam kompromi yang dapat membuat slogan klasik, sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
           
2.      Sosiologi Dan Sastra
Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Meskipun sosiologi dianggap bukan suatu ilmu yang bersifat normatif, ia dapat memberikan pengetahuan yang dapat menimbulkan sikap normatif kalau pengetahuan itu kita olah berdasarkan akal kecerdasan kita. Sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat, usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakata itu.
Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif. Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek documenter sastra, landasanya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya.
Daiches berangaapan bahwa pendekatan sosiologis itu pada hakikatnya merupakan oendekatan genetic, petimbangan karya sastra dari segi pandangan asal-usulnya, baik yang bersifat sosial maupun individual atau kedua-duanya. Dalam hal ini ia berpendapat bahwa nilai sosiologis (yang menjadi penyebab, asal-usul) tidak dapat dipisahkan ke sastra (yang menjadi akibat, hasil) tanpa perubahan apa-apa.
Sosiologi dapat membantu kritikus agar terhindar dari kekeliruan tentang hakikat karya sastra yang di telaah. Kritik sosiologis berfungsi deskriptif dan karena deskripsi semacam itu penting untuk mendahului penilaian, maka kritik sosiologis dapat disebut sebagai pembantu kritik sastra. Tentang hubungan antara sosiologi dan sastra, Swingewood (1972:15) mengetengahkan pandangan yang lebih positif. Ia tidak berpihak pada pandangan yang menganggap sastra sekedar bahan sampingan saja. Dalam melakukan analisis sosiologi terhadap kasya sastra kritikus harus berhati-hati mengartikan slogan “ sastra adalah cermin masyrakat”.

3.      Pelopor Teori Sosial Sastra
Teori sosial sastra sebenarnya sudah diketengahkan orang sejak sebelum masehi. Salah satu dokumen tertulis yang memuat “teori” sosial sastra adalah karya Plato, seorang filsuf yunani yang hidup di abad keliama dan keempat sebelum masehi. Menurutnya, segala yang terjadi di dunia ini sebenanya hanya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Dalam teorinya itu juga disebut tentang tiga macam “ seniman” yaitu pengguna, pembuat dan peniru. Bagian lain karangan plato itu menjelaskan tentang pentinanya sastra bagi pendidik anak.
Kritikus penting pertama yang menyusun teori tentang pentingnya pengaruh faktor geografis terhadap sastra adalha Johann Gottfried von Herder. Herder juga sering menyebut-nyebut tentang adanya hubungan sebab musabab antara sastra dengan “tiga zaman” dan “ jiwa bangsa’.
Dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan sosiologi terhadap sastra terbagi dua jalur utama. Yang pertaman adalah pendangan yang kemudian dikenal sebagai positivism, yaitu usaha untuk mencari hubungan antara sastra dan beberapa faktor seperti iklim, geografi, dan ras. Jalur kedua menolak empiris ini. Sastra bukanlah sekedar pencermina masyarakat, sastra merupakan usaha manusia untuk menemukan makna yang semakin kosong.
orang yang dianggap sebagai peletak dasr-dasar mazbah genetic dalam kritik sastra adalah Hippolyte Taine. Bagi Taine, sastra bukanlah sekedar permainan imajinasi yang pribadi sifanya, tetapi merupakan rekaman tata cara zamanya, suatu perwujudan macam pikiran tertentu. Sosiologi sasta yang berdasarkan pada positivisme semacam itu, yakni menganggap sastra sebagai cermin sebagai dokumen harus siap untuk membicarakan segala macam sastra yang buruk, yang baik, yang apapun macamnya.
Taine tidak pernah menarik kesimpulan seperti diatas, ia berpendapat bahwa sastra hanya bisa dianggap sebagai dokumen apabila ia meripakan monument. Taine kemudian mencoba menentukan sebab-sebab yang menjadi latar belakang timbulnya sastra besar, yaitu ras, saat, lingkungan. Taine memberi batasan ras dari segi cirri turun temurun. Batasan saat takada bedanya dengan jiwa zaman. Sedangkan lingkungan yakni menjelaskan tentang asal-usul sastra. Bagian tulisan Taine yang paling berharga untuk perkembangan sosiologi sastra adalah pandangannya tentang masyarakat pembaca, dikatakannya bahwa sastra selalu menyesuaikan diri denga cita rasa masyarakat pembacanya.
Taine juga menyebut-nyebut faktor ekonomi sebagai salah satu penentu sastra. Taine sebagai bapak aliran genetik dalam kritik sastra, yakni yang mencoba mengungkapkan asl-usul karya sastra berdasarkan keadaan jiwa si pengarang. Yang paling tegas adalah batasan lingkungan sebagai faktor-faktor ekonomi dan kelas sosial.

4.      Marxisme Dan Sastra
Pendangan yang umum berlaku tentang hubungan antara sastra dan marxisme adalah bahwa di beberapa negara komunis, pemerintah mengharuskan pengarangnya untuk menuruti garis partai, sastra yang melenceng dari garis partai dianggap tidak sesuai untuk masyarakat, dan oleh sebab itu harus disingkirkan. Sastra dan pengarang memegang peranan yang sangat penting dalam strategi komunis. Begitu penting peran sastra dalam masyarakat, sehingga ia harus selalu diawasi.
Pengaruh paham marxisme terhadap sastra  merupakan salah satu sumber yang telah banyak dimanfaatkan untuk mengembangkan sosiologi sastra. Pada tahun 1848 Karl Marx dan Frederick Engels, dua pemuda tokoh revolusioner Jerman, menerbitkan sebauh dokumen yang kemudian ternyata besar sekali pengaruhnya terhadap sejarah manusia. Dokumen itu kita kenal sebagai Manifesto Komunis.
Manifesto yang terkenal itu tidak khusus ditulis untuk membicarakan sasta. Patutu dicatat behwa meskipun kebanyakan komentar Marx dan Engels tentang sastra sering tidak jelas, jarang sekali mereka menunjukkan sikap sangat dogmatis dan kaku seperti yang sering ditampilkan oleh para pengikut mereka.
Marx dan Engels juga menyadari bahwa pembagian kerja memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan sosial. Tulisan-tulisan awal Marx dan Engela menunjukkan konsep sastra yang agak deterministis. Hubungannya antara sastra dan masyarakat hanya dipandang dari segi kausalitas belaka. Seni sebagai ideologi sama sekali tidak memiliki otonomi. Beberapa kali Engels mengatakan bahwa sastra adalah cermin pemantul proses sosial. Ada dua pokok penting dalam pemikiran Engels (1975:270) tentang sastra :
1.      Tendensi politik  penulis haruslah disajikan secara tersirat saja.
2.      Lebih dogmatis
Salah seorang yang telah banyak mengorbankan waktu dan bakatnya untuk menyusun sebuah teori sastra marxis adalah Georgei Plekhanov. Dalm tulisannya antara lain ia menyerang doktrin tentang peranan orang-seorang dalam sejarah, dan menyebutnya sebagai ilusi idealistik. Ia juga berpendapat bahwa kapitalisme barat sudah ke Rusia, dan prang tidak bisa lagi mengharapkan perkembangan evolusioner yang nonkapitalistis.
Tulisan-tulisan Plekhanov yang menyangkut sastra menunjukkan pengaruh gagasan Engels tentang sastra sebagi cermin dan konsep tipe. Tetapi Plekhanov tidak puas dengan penafsiran yang sepenuhnya materialistis ini. Ia meminjam estetika idealistik Kant yang menyatakan bahwa yang bagus hanya dapat dinilai oleh sikap emosional yang tanpa pamrih. Konsep seni sebagai cermin itu bersandar pada sumber utama kehidupan sosial, yakni perjuangan kelas. Seni yang tak bersumber pada perjuangan kelas tidak mungkin menjadi seni yang agung. Semua seni dan sastra terikat pada kelas, dan seni dan sastra yang agung tidak dapat muncul dari masyarakat yang dikuasai oleh pandangan borjuis.
Karya sastra besar adalah yang merupakan peryataan semangat kebangsaan yang berkembang secara historis, gerak dialektik daripada gagasan politik dan ekonomi. Pentingnya hubungan sastra dengan proses sosial tidak saja menjadi perhatian kritikus, tetapi juga novelis dan politikus. Sastra kata Lukacs, ditulis berdasarkan pada pandangan tertentu. Ia menyerang sastra modernis karena sastra ini berpura-pura tanpa pamrih, berpura-pura bersikap objektif terhadap masalah dunia ini. Pujiannya terhadap para penulis realis borjuis seperti Charles Dickens dan Honore de Balzac berdasarkan pada keyakinan bahwa sastra sama sekali bukan merupakan suatu objek cultural yang pasif, tatapi merupakan bagian dari perjuangan untuk melenyapkan akibat-akibat buruk dari pembagian kerja sosial yang luas.
Dua gagasan yang menjadi kunci pandangan Lukacs adalah keyakinan akan timbulnya suatu realism baru yang segar, realism sosialis, yang akan mengatasi humanism borjuis yang lapuk. Gagasan yang paling banyak menimbulkan perdebatan adalah “realism sosialis”. Yang utama dalam sastra realize sosialis adalah akspresi dan komunikasi. Ada beberapa novel realism sosialis yang menggambarkan kelas menengah karena kelas itulah yang dikenal penulisnya dengan baik. Apabila sebuah novel berhasil secara estetis, maka tentunya didalamnya terdapat pengetahuan yang deperlukann untuk menghubungkan kebenaran dengan kenyataan.
Secara nasional dilakukan segala macam usaha untuk mendorong kreativitas penulis-penulis amatur. Slogan mereka “ kini sudah lampau zaman sastra dan seni hanya untuk kaum minoritas. Sastra tidak diperbolehkan memasalahkan penderitaan dan keputusan, sastra hanya boleh dipergunakan sebagai penggugah semangat revolusioner. Dengan demikian cerita-cerita tidak semakin mendekati kenyataan, tetapi semakin mirip dongeng.

5.      Strukturalisme Genetik
Sastra kebanyakan hanya dianggap sebagai gejala kedua dari struktur sosial, sebagai cermin jaman atau cermin kehidupan pengarang. Kreativitas sastra dianggap sebagai tak lebih dari hasil hal-hal yang bersifat ekstrinsik. Yang menjadi perhatian utama adalah latar belakang sejarah dan sosial, kedua latar belakang itulah yang menjadi titik tolak penganalisisan kesusastraan.
Sebagai suatu cara pendekatan strukturalisme mencakup segala bidang yang menyangkut fenomena sosial kemanusiaan. Dengan demikian tercakup di dalamnya ilmu-ilmu sosial murni ( antropologi, sosiologi, politik, ekonomi, dan psikologi), ilmu-ilmu kemanusiaan (sastra, sejarah, dan linguistic), dan seni rupa.
Sebagai suatu metode strukturalisme memiliki beberapa ciri :
1.      Perhatiannya terhadap keutuhan, terhadap totalitas.
2.       Strukturalisme tidak menelaah struktur pada permukaannya, tetapi struktur yang ada di bawah atau di balik kenyataan empiris.
3.      Analisis yang dilakukan oleh kaum struturalis menyangkut struktur yang singkronis, dan bukan yang diakronis.
4.      Strukturalisme adalah metode pendekatan yang anti kasual.
Saussure menegaskan pentingnya adalah telaah singkronis bahasa. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya. Strukturalisme anistoris memberikan tekanan pada aspek sinkronis suatu sistem, dan oleh karenanya golongan ini memusatkan perhatian kepada hal kecil-kecil.
Dari sudut pandangan sosiologi sastra, strukturalisme historis ini penting artinya ia menempatkan karya sastra sebagai data dasar penelitian, memandangnya sebagai suatu sistem makna yang berlapis-lapis yang merupakan suatu totalitas yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Sosiologi sastra dikembangkan oleh Goldman mencoba menyatukan analisis struktural dengan materialism historis dan dialektif. Dengan demikian untuk menelaah fakta-fakta kemanusiaan baik dalam strukturnya yang esensial maupun dalam kenyataannya yang konkrit membutuhkan suatu metode yang serentak bersifat sosiologis atau historis.
Goldman juga mengembangkan konsep tentang pendangan dunia (vision du monde world vision) yang terwujud dalam semua karya sastra dan filsafat yang besar. Pandangan dunia ini di artikan suatu struktur global yang bermakna, suatu pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap meknanya dengan segala kerumitan dan keutuhannya. Patutu dicatat bahwa pandangan dunia ini tidak sama dengan ideology. Esensi ideologi terletak pada pendangannya yang sepihak terhadap dunia, juga terletak pada kepalsuan gambarannya tentang kenyataan.
Pandangan dunia bukan hanaya merupakan ekspresi kelompok sosial, tetapi juga kelas sosial. Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, sebab lewat suatu kelaslah ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Dalam hal ini Goldman berpendapan bahw kepaduan internal sustu karya sastra besar sama sekali tergantung kepada pandangan dunia yang dimiliki si pengarang.
Kebesaran karya sastra merupakan syarat pertama dalam pendekatan sosio-historis ini. Syarat tersebut didasarkan pada pandangan Goldmann (1973:311-321) tentang fakta estetis. Fakta estetis terdiri dari dua tataran korespondensi penting :
1.      Hubungan antara pendanga dunia sebagai suatu kenyataaan yang dialami dan alam ciptaan pengarang.
2.      Hubungan antara alam ciptaan ini dan alat-alat kesusastraan tertentu seperti sintaksis, gaya, dan citra yang dipergunakan pengarang dalam penulisannya.
Syarat kedua bahwa metode ini sebaiknya diterapkan untuk penelaahan karya sastra masa lampau, tetapi syarat ini bukan merupakan prinsip hanya sekedar pertanyaan fakta saja. Dan dalam perjalanannya waktu semua itu akan lenyap yang itnggal hanya satu factor saja. Factor inilah yang menyebabkan para pembaca atau peminat menyadari apa yang mereka pikirkan dan rasakan secara kabur dan kacau sekarang ini. Langkah yang selanjutnya bisa dilakukan dua macam:
1.      Menunjukkan hubungan antara salah satu pandangan dunia dan tokoh-tokoh serta hal-hal yang diciptakan dalam karya sastra tertentu, yang disebut oleh Goldman yaitu “ estetika sosiologis”
2.      Mencoba menunjukkan hubungan antara alam ciptaan pengarang dengan perlengkapan sastra yang dipergunakan pengarang untuk menuliskannya, langkah ini disebut estetika sastra.
Goldmann mengakui bahwa dalam telaah-telaah yang dilakukannya, langkaha pertama itulah yang terutama dipraktekkan, sedangkan langkah yang kedua hanya disinggungnya secara sepintas lalu saja. Goldman membicarakan baik karya sastra masa lampau maupun karya modern, antara lain ia membuat telaah tentang pascal. Goldman menyatakan bahw fungsi pengarang adalah sebagai oposisi kritis, semacam bentuk perlawanan terhadap perkembangan masyarakat borjuis.
Goldmann setelah itu menjelaskan bahwa kelas sosial sebagai pusat kreativitas sastra yang sejati telah menjadi tak begitu penting. Yang menjadi faktor penentu adalah masyarakat sebagai suaatu totalitas, terutama sekali struktur ekonominya. Pandangan dunia itulah yang telah menyediakan nilai-nilai otentik yang dibutuhkan bagi penciptaan suatu “ genre yang padu dank keras “ yaitu novel.

6.      Sastra, Politik, Dan Ideologi
Stendhal, seorang novelis Prancis awal abad kesembilan belas yang dianggap sebagai bapak novel psikologis negerinya, pernah berpendapat bahwa “ dalam karya sastra, politik adalah seumpama letusan pestol di tengah pergelaran konser, ia terdengar keras dan kampungan tetapi mau tak mau kita pasti memprhatikannya. Dalam novel politik, politik memainkan peranan utama dan latar belakang politik merupakan latar belakang utama. Dalam bentuknya yang paling ideal, novel politik adalah novel yang berisi ketegangan internal, unutk bisa dianggap novel, ia harus penggambaran perilaku dan perasaan manusia di samping itu ia harus merasapkan ideology modern.
Belum cukup kalau hanya dikatakan bahw ideologi hanya dapat mengganggu novel, ia merupakan tantangan utama bagi novelis, yang harus memusatkan segala keterampilan dan kecerdasannya untuk mengatasi barang abstrak itu agar bisa masuk ke novel yang ditulisnya. Ketakutan terhadap masuknya ideologi ke dalam novel cukup tersebar di kalangan kritikus dan penulis. Dapat juga dikatakan bahwa novelis politik menghadapi kesulitan berat karena ia harus menggunakan bahaaaan-bahan yang tak murni tetapi kalau ia berhasil menggunakan bahan-bahan itu sebaik-baiknya, karya yang ditulisnya pasti akan unggul.
Criteria untuk menilai novel politik tentunya sama dengan kriteria untuk menilai novel lain. Gagasan literature engage timbul sebagai akibat dari pengaruh ideologi modern terhadap kesusastraan. Gagasan ini bukanlah merupakan pengulangan suara lama yang pernah sering didengung-dengungkan, yakni tuntutan bagi tempat yang layak dalam masyarakat untuk sastrawan. Gagasan keterlibatan bersumber pada dua pokok hal :
1.      Kita kini dihadapkan kepada kenyataan yang bergerak begitu cepatnya sehingga hampir tak ada kesempatan bagi kita untuk memahaminnya.
2.      Kritis yang mendalam telah menimpa peradaban kita.
Ada dua macam keberatan atau serangan terhadap gagasan keterlibatan ini.
1.      Literature engagee terlalu terlalu berbau politik sehingga tak seha lagi
2.      Keadaan masyarakat modern kita ini telah menyebabkan segala macam keterlibatan menjadi kuno.
Semua konflik moral dan ideologi dalam jaman ini mempunyai latar belakang politik. Tak ada segi perjuangan hidup kita, baik yang bersifat individual maupun sosial, yang tidak berbau politik. Konflik penting lain adalah antara ideal dan kenyataan, begitu yang ideal dilaksanakan, timbul kesulitan dan halangan. Yang sering membuat kita kecewa adalah bahwa perkembangan jaman ternyata jauh dari yang kita harapkan.
Pengarang merupakan hak penuh untuk mengharapkan kebebasan dari masyarakatnya, namun masyarakat juga mempunyai alas an untuk mengharapkan rasa tanggung jawab sosial dari pengarang. Keyakina untuk tidak berkompromi itu pada dasarnya merupakan pencermina kehendak untuk tidak mengalah saja kepada kaum penguasa yang korup. Dalam hal ini pengarang harus berpihak kapada suatu kekuatan sosial tertentu untuk melancarkan protes terhadap tata masyarakat yang buruk, untuk melawan ketidakadilan.

7.      Pengarang, Buku, Dan Pembaca
Sastra berkaitan dengan sejumlah factor sosial; untuk bisa memahami asal-usul, bentuk, dan isinya, factor-faktor sosial itu bisa membentuk kita. Factor-faktor itu antara lain: tipedan taraf ekonomi masyarakat tempatnya berkarya, kelas atau kelompok yang mempunyai hubungan langsung atau tak langsung dengannya, sifat-sifat pembacanya, sistem sponsor, sistem pengayoman, tradisi sastra yang telah mempengaruhi karya-karyanya, dan keadaan kejiwaannya sendiri.
Ada beberapa segi hubungan antara pengarang, buku, dan pembaca yang didasarkan pada berbagai penelitian di berbagai negara, yaitu meliputi :
1.      Masalah asal-usul kepengarangan dan pengayoman (patronage). (wallek dan Werren. 1956:93-96)
2.      Adanya pembagian kerja yang makin terperinci dalam masyarakat.
Fungsi hubungan antara pengarang, buku, dan pembaca, yaitu :
1.      Untuk menyampaikan informasi
2.      Untuk mencatat sejarah
3.      Untuk mempergunakan hal-hal yang tidak diketahui.
Masalah utama yang menjadi penghambat perkembangan pendidikan adalah kemiskinan. Produksi buku menjadi usaha kapitalis, tidak ada bedanya dengan usaha di bidang lain. Pada tahun 1880-an para novelis berhasil mengumpulkan kekayaan yang luar biasa banyaknya, sehingga pada abad itu bahan bacaan semakin banyak macamnya, dan novel berhasil menjadi bacaan yang utama. Akhirnya semakin banyak berkembangnya perpustakaan.
Hal terakhir yang akan dipaparkan di sini adalah hasil penelitian seorang ahli sosiologi akerika serikat, Robert N. Wilson (1964:3-34), tentang tempat penyair dalam masyarakat Amerika masa kini. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan pengamatan. Dalam bagian akhir karangannya itu, Wilson menyatakan bahwa penyair rupanya sudah yakin akan profesinya. Tentunya penyair juga akan merasa senang apabila puisinya laku keras, tetapi ia tetap mempertahankan kepenyairannya daripada harus tunduk kepada ideology politik atau ekonomi yang sedang populer.

8.      Masalah Sastra Populer
Dijaman modern ini kita telah menegaskan adanya perbedaan antara sastra “seni” dan sastra popular. Sastra yang disebut pertama itu sering juga dinakamakan sastra murni atau sastra elit, sedangkan yang kedua kadang-kadang disebut sastra pop atau kitsch. Seperti pernah disinggung sebelumnya, akhirnya sastra tidak hanya dianggap sebagai barang seni, tetapi juga sebagai komiditi. Yang disebut terakhir itu tampaknya menjadi semakin penting, dan oleh Karena itu banyak mendapat perhatian dari para ahli ilmu sosial. Powenthal (1968: xvii-xviii) beranggapan bahwa sebenarnya kebuadayaan popular itu sudah ada sejak dahulu kala, bahkan boleh dikatakan suatu peradapan manusia ini.
Posisi sastra popular dalam masyarakat barangkali akan bisa lebih jelas kita pahami denga mengikuti penjelasan Clement Greenberg tentang perbedaan antara avant-garde dan kitsch (1965 : 3-21). Dalam karangannya itu Greenberg mencoba menungkapkan posisi seni avantgarde dan kitsch yang berdasarkan contoh-contoh yang disebutnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkannya dengan avantgarde adalah seni murni atau elit, sedangkat kitsch, tak lain berarti seni populer.
Di dalam masyarakat yang semakin kompleks seperti masyarakat modern kita ini, sangatlah sulit bagi siapapun untuk menduga-duga apapun. Semua kebenaran yang menyangkut agama, kekuasaan, tradisi, dan gaya semakin dipertanyakan.
Tidaklah mengherankan apabila ternyata bahwa kelahiran kebudayaan avantgarde secara kronologis, dan bahkan geografis, terjadi bersamaan dengan perkembangan pertama dari pemikiran revolusioner ilmiah di Eropa. Dengan demikian fingsi terpenting senia avant-garde bukanlah dalam hal melakukan “eksperimen”. Melainkan dalam usahanya mencari jalan yang memungkinkan kebudayaan terus berlangsung di tengah-tengah kebalauan dan kekerasan ideologis.
Dalam usaha mencapai yang absolute inilah seniman dan penyair avant-garde sampai pada seni dan puisi “abstrak” atau “nonobjektif”. Nilai-nilai yang dipergunakannya untuk mencapai kemutlakan adalah nilai-nilai yang nibsi, yakni nilai-nilai yang estetis. Jadi karya avant-garde merupakan tiruan dari peniruan, kalau dasar anggapan kita adalah bahwa setiap karya seni adalah tiruan.
Segala nilai sebenarnya adalah nilai yang diukur manusia, jadi bersifat nibsi, baik dalam bidang seni maupun bidang lain. Namun demikian, sebenarnya ada semacam kesamaan pendapat sisntara kaum “berbudaya” dalam sejarah kemanusiaan dari zaman ke zaman dalam menentukan yang mana baik dan mana yang buruk dalam seni.
Dalam perkembangannya pada zaman modern ini, kebudayaan massa menciptakan medianya sendiri yang jarang sekali dipergunakan oleh seniman-seniman yang sungguh-sungguh. Tumbuhnya kebudayaan massa erat sekali hubungannya dengan pertumbuhan demokrasi politik dan pendidikan popular yang telah berhasil menumbangkan monopoli kelas atas terhadap kebudayaan. Benar bahwa sampai batas tertentu kebudayaan massa merupakan kelanjutan dari kebudayaan rakyat yang sampai zaman revolusi industri merupakan kebudayaan masyarakat luas. Namun perbedaan antara keduanya lebih menyolok daripada persamaannya. Seni rakyat merupakan lembaga rakyat itu sendiri, tetapi kebudayaan massa telah meruntuhkan pagar tersebut dan menyeret massa kea rah bentuk kebudayaan luhur yang diturunkan.
Kebudayaan massa merupakan suatu kekuatan yang dinamisdan revolusioner yang telah meruntuhkan batas-batas kelas, tradisi, dan cita rasa. Yang terjadi selanjutnya bahwa kebudayaan massa telah meminjam warna kebudayaan luhur, akademik, dan avant-garde, sementara ketiga yang disebut terakhir itu mencair karena unsure-unsur massa. Kebudayaan massa tidak akan bisa mencapai lebih tinggi. Kebudayaan hanya bisa dihasilkan oleh dan bagi manusia.
Rakyat adalah semacam keluarga, setiap anggotanya memilki tempat dan fungsi sebagai perseorangan dan sekaligus berbagi minat dengan anggota lain. Seni populer bukan pula sekedar seni buruk, jadi ukurannya bukan ketakmampuannya memenuhi tuntutan kritik. Kebesaran suatu karya seni adalah suatu atribut estetis yang pilah, yakni yang menyangkut soal kedalaman atau jangkauan.
Ciri-ciri seni populer antara lain:
1.      Segi bentuk
2.      Pengharaman makna ganda
Pada zaman kita ini seni telah semakin tidak ada hubungannya dengan masalah kebudayaan, agama, kasih sayang, perang, politik, dan [erjuangan mencari nafkah.  Titik tolak untuk membicarakan kebudayaan populer tersebut memang bisa menempatkan seorang peneliti pada posisi yang menyulitkan, ini diakui oleh lowenthal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar