1. Klasifikasi Bagan
Karya diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami,
dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra adalah lembaga social yang menggunakan
bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial.
Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri
adalah suatu kenyataan sosial. Yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan
hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.
Sederet pernyataan di atas menunjukkan bahwa sastra tidak
jatuh begitu saja dari langit, bahwa hubungan yang ada antara sastrawan,
sastra, dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari. Boleh dikatakan
sastra berdampingan dengan lembaga sosial tertentu dalam masyarakat primitif,
misalnya kita sulit memisahkan sastra dari upacara keagamaan, ilmu gaib,
pekerjaan sehari-hari, dan permainan, dalam zaman kita ini pemisahan itu dapat
dilakukan meskipun tidak sepenuhnya. Lebih jauh lagi, sastra bias mengandung
gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu atau
bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Istilah itu
pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan
sosiologis, atau pendekatan sosiokultural terhadap sastra. Semua pendekatan
tersebut menunjukkan satu kesamaan perhatian terhadap sastra sebagai lembaga
sosial, yang diciptakan oleh sastrawan anggoata masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa ada dua kecenderungan utama dalam
telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada
anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka.
Pendekatna ini bergerak dari faktor-faktor diluar sastra. Dalam pendekatan ini
teks sastra tidak dianggap utama, ia hanya merupakan epiphenomemon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan
teks sastra sebagai bahan penelaahan.
Wellek dan Warren (1956:84) membuat klasifikasi yang
singkatnya sebagai berikut : pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan
status sosial., ideology sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang
sebagai penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya
sastra itu sendiri. Yang ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan
pengaruh sosial karya sastra.
Klasifikasi di atas tidak banyak berbeda dengan bagan yang
dibuat oleh Ian Watt (1964:300-313) yang membicarakan tentang hubungan timbale
balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat.
Pertama, Konteks sosial pengarang. Ini hubungannya dengan
posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat
penbaca. Yang meliputi : (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata
pencahariannya
(b)
profesionalisme dan kepengarangan, sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya
sebagai suatu profesi
(c)
masyarakat apa yang dituju oleh pengarang
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, sampai sejauh mana
sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakat.yaitu meliputi :
(a) sastraitu sendiri, (b) sifat ”lain dari yang lain”, (c) Genre sastra.
Ketiga, fungsi sosial sastra, dilihat dari (a) sudut
pandangan ekstrim kaum romantic, (b) dari sudut sastra bertugas sebagai
penghibur belaka, (c) semacam kompromi yang dapat membuat slogan klasik, sastra
harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
2. Sosiologi Dan Sastra
Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang
manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi
mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia
berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Meskipun sosiologi dianggap bukan
suatu ilmu yang bersifat normatif, ia dapat memberikan pengetahuan yang dapat
menimbulkan sikap normatif kalau pengetahuan itu kita olah berdasarkan akal
kecerdasan kita. Sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat, usaha
manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakata itu.
Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa sosiologi
melakukan analisis ilmiah yang objektif. Pendekatan sosiologi sastra yang
paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek
documenter sastra, landasanya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin
zamannya.
Daiches berangaapan bahwa pendekatan sosiologis itu pada
hakikatnya merupakan oendekatan genetic, petimbangan karya sastra dari segi
pandangan asal-usulnya, baik yang bersifat sosial maupun individual atau
kedua-duanya. Dalam hal ini ia berpendapat bahwa nilai sosiologis (yang menjadi
penyebab, asal-usul) tidak dapat dipisahkan ke sastra (yang menjadi akibat,
hasil) tanpa perubahan apa-apa.
Sosiologi dapat membantu kritikus agar terhindar dari
kekeliruan tentang hakikat karya sastra yang di telaah. Kritik sosiologis
berfungsi deskriptif dan karena deskripsi semacam itu penting untuk mendahului penilaian,
maka kritik sosiologis dapat disebut sebagai pembantu kritik sastra. Tentang hubungan
antara sosiologi dan sastra, Swingewood (1972:15) mengetengahkan pandangan yang
lebih positif. Ia tidak berpihak pada pandangan yang menganggap sastra sekedar bahan
sampingan saja. Dalam melakukan analisis sosiologi terhadap kasya sastra
kritikus harus berhati-hati mengartikan slogan “ sastra adalah cermin
masyrakat”.
3. Pelopor Teori Sosial Sastra
Teori sosial sastra sebenarnya sudah diketengahkan orang
sejak sebelum masehi. Salah satu dokumen tertulis yang memuat “teori” sosial
sastra adalah karya Plato, seorang filsuf yunani yang hidup di abad keliama dan
keempat sebelum masehi. Menurutnya, segala yang terjadi di dunia ini sebenanya
hanya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan.
Dalam teorinya itu juga disebut tentang tiga macam “ seniman” yaitu pengguna,
pembuat dan peniru. Bagian lain karangan plato itu menjelaskan tentang
pentinanya sastra bagi pendidik anak.
Kritikus penting pertama yang menyusun teori tentang
pentingnya pengaruh faktor geografis terhadap sastra adalha Johann Gottfried
von Herder. Herder juga sering menyebut-nyebut tentang adanya hubungan sebab
musabab antara sastra dengan “tiga zaman” dan “ jiwa bangsa’.
Dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan sosiologi terhadap
sastra terbagi dua jalur utama. Yang pertaman adalah pendangan yang kemudian
dikenal sebagai positivism, yaitu usaha untuk mencari hubungan antara sastra
dan beberapa faktor seperti iklim, geografi, dan ras. Jalur kedua menolak
empiris ini. Sastra bukanlah sekedar pencermina masyarakat, sastra merupakan
usaha manusia untuk menemukan makna yang semakin kosong.
orang yang dianggap sebagai peletak dasr-dasar mazbah genetic
dalam kritik sastra adalah Hippolyte Taine. Bagi Taine, sastra bukanlah sekedar
permainan imajinasi yang pribadi sifanya, tetapi merupakan rekaman tata cara
zamanya, suatu perwujudan macam pikiran tertentu. Sosiologi sasta yang
berdasarkan pada positivisme semacam itu, yakni menganggap sastra sebagai
cermin sebagai dokumen harus siap untuk membicarakan segala macam sastra yang
buruk, yang baik, yang apapun macamnya.
Taine tidak pernah menarik kesimpulan seperti diatas, ia
berpendapat bahwa sastra hanya bisa dianggap sebagai dokumen apabila ia
meripakan monument. Taine kemudian mencoba menentukan sebab-sebab yang menjadi
latar belakang timbulnya sastra besar, yaitu ras, saat, lingkungan. Taine
memberi batasan ras dari segi cirri turun temurun. Batasan saat takada bedanya
dengan jiwa zaman. Sedangkan lingkungan yakni menjelaskan tentang asal-usul
sastra. Bagian tulisan Taine yang paling berharga untuk perkembangan sosiologi
sastra adalah pandangannya tentang masyarakat pembaca, dikatakannya bahwa
sastra selalu menyesuaikan diri denga cita rasa masyarakat pembacanya.
Taine juga menyebut-nyebut faktor ekonomi sebagai salah satu
penentu sastra. Taine sebagai bapak aliran genetik dalam kritik sastra, yakni
yang mencoba mengungkapkan asl-usul karya sastra berdasarkan keadaan jiwa si
pengarang. Yang paling tegas adalah batasan lingkungan sebagai faktor-faktor
ekonomi dan kelas sosial.
4. Marxisme Dan Sastra
Pendangan yang umum berlaku tentang hubungan antara sastra
dan marxisme adalah bahwa di beberapa negara komunis, pemerintah mengharuskan pengarangnya
untuk menuruti garis partai, sastra yang melenceng dari garis partai dianggap
tidak sesuai untuk masyarakat, dan oleh sebab itu harus disingkirkan. Sastra
dan pengarang memegang peranan yang sangat penting dalam strategi komunis.
Begitu penting peran sastra dalam masyarakat, sehingga ia harus selalu diawasi.
Pengaruh paham marxisme terhadap sastra merupakan salah satu sumber yang telah banyak
dimanfaatkan untuk mengembangkan sosiologi sastra. Pada tahun 1848 Karl Marx
dan Frederick Engels, dua pemuda tokoh revolusioner Jerman, menerbitkan sebauh
dokumen yang kemudian ternyata besar sekali pengaruhnya terhadap sejarah
manusia. Dokumen itu kita kenal sebagai Manifesto
Komunis.
Manifesto yang terkenal itu tidak khusus ditulis untuk
membicarakan sasta. Patutu dicatat behwa meskipun kebanyakan komentar Marx dan
Engels tentang sastra sering tidak jelas, jarang sekali mereka menunjukkan
sikap sangat dogmatis dan kaku seperti yang sering ditampilkan oleh para
pengikut mereka.
Marx dan Engels juga menyadari bahwa pembagian kerja memegang
peranan yang sangat penting dalam kehidupan sosial. Tulisan-tulisan awal Marx
dan Engela menunjukkan konsep sastra yang agak deterministis. Hubungannya
antara sastra dan masyarakat hanya dipandang dari segi kausalitas belaka. Seni
sebagai ideologi sama sekali tidak memiliki otonomi. Beberapa kali Engels
mengatakan bahwa sastra adalah cermin pemantul proses sosial. Ada dua pokok
penting dalam pemikiran Engels (1975:270) tentang sastra :
1.
Tendensi politik penulis haruslah disajikan secara tersirat
saja.
2.
Lebih dogmatis
Salah seorang yang telah banyak mengorbankan waktu dan
bakatnya untuk menyusun sebuah teori sastra marxis adalah Georgei Plekhanov.
Dalm tulisannya antara lain ia menyerang doktrin tentang peranan orang-seorang
dalam sejarah, dan menyebutnya sebagai ilusi idealistik. Ia juga berpendapat
bahwa kapitalisme barat sudah ke Rusia, dan prang tidak bisa lagi mengharapkan
perkembangan evolusioner yang nonkapitalistis.
Tulisan-tulisan Plekhanov yang menyangkut sastra menunjukkan
pengaruh gagasan Engels tentang sastra sebagi cermin dan konsep tipe. Tetapi
Plekhanov tidak puas dengan penafsiran yang sepenuhnya materialistis ini. Ia
meminjam estetika idealistik Kant yang menyatakan bahwa yang bagus hanya dapat
dinilai oleh sikap emosional yang tanpa pamrih. Konsep seni sebagai cermin itu
bersandar pada sumber utama kehidupan sosial, yakni perjuangan kelas. Seni yang
tak bersumber pada perjuangan kelas tidak mungkin menjadi seni yang agung.
Semua seni dan sastra terikat pada kelas, dan seni dan sastra yang agung tidak
dapat muncul dari masyarakat yang dikuasai oleh pandangan borjuis.
Karya sastra besar adalah yang merupakan peryataan semangat
kebangsaan yang berkembang secara historis, gerak dialektik daripada gagasan
politik dan ekonomi. Pentingnya hubungan sastra dengan proses sosial tidak saja
menjadi perhatian kritikus, tetapi juga novelis dan politikus. Sastra kata
Lukacs, ditulis berdasarkan pada pandangan tertentu. Ia menyerang sastra
modernis karena sastra ini berpura-pura tanpa pamrih, berpura-pura bersikap
objektif terhadap masalah dunia ini. Pujiannya terhadap para penulis realis
borjuis seperti Charles Dickens dan Honore de Balzac berdasarkan pada keyakinan
bahwa sastra sama sekali bukan merupakan suatu objek cultural yang pasif,
tatapi merupakan bagian dari perjuangan untuk melenyapkan akibat-akibat buruk
dari pembagian kerja sosial yang luas.
Dua gagasan yang menjadi kunci pandangan Lukacs adalah
keyakinan akan timbulnya suatu realism baru yang segar, realism sosialis, yang
akan mengatasi humanism borjuis yang lapuk. Gagasan yang paling banyak
menimbulkan perdebatan adalah “realism sosialis”. Yang utama dalam sastra
realize sosialis adalah akspresi dan komunikasi. Ada beberapa novel realism
sosialis yang menggambarkan kelas menengah karena kelas itulah yang dikenal
penulisnya dengan baik. Apabila sebuah novel berhasil secara estetis, maka
tentunya didalamnya terdapat pengetahuan yang deperlukann untuk menghubungkan
kebenaran dengan kenyataan.
Secara nasional dilakukan segala macam usaha untuk mendorong
kreativitas penulis-penulis amatur. Slogan mereka “ kini sudah lampau zaman
sastra dan seni hanya untuk kaum minoritas. Sastra tidak diperbolehkan
memasalahkan penderitaan dan keputusan, sastra hanya boleh dipergunakan sebagai
penggugah semangat revolusioner. Dengan demikian cerita-cerita tidak semakin
mendekati kenyataan, tetapi semakin mirip dongeng.
5. Strukturalisme Genetik
Sastra kebanyakan hanya dianggap sebagai gejala kedua dari
struktur sosial, sebagai cermin jaman atau cermin kehidupan pengarang.
Kreativitas sastra dianggap sebagai tak lebih dari hasil hal-hal yang bersifat
ekstrinsik. Yang menjadi perhatian utama adalah latar belakang sejarah dan
sosial, kedua latar belakang itulah yang menjadi titik tolak penganalisisan
kesusastraan.
Sebagai suatu cara pendekatan strukturalisme mencakup segala
bidang yang menyangkut fenomena sosial kemanusiaan. Dengan demikian tercakup di
dalamnya ilmu-ilmu sosial murni ( antropologi, sosiologi, politik, ekonomi, dan
psikologi), ilmu-ilmu kemanusiaan (sastra, sejarah, dan linguistic), dan seni
rupa.
Sebagai suatu metode strukturalisme memiliki beberapa ciri :
1.
Perhatiannya terhadap keutuhan, terhadap
totalitas.
2.
Strukturalisme tidak menelaah struktur pada
permukaannya, tetapi struktur yang ada di bawah atau di balik kenyataan
empiris.
3.
Analisis yang dilakukan oleh kaum struturalis
menyangkut struktur yang singkronis, dan bukan yang diakronis.
4.
Strukturalisme adalah metode pendekatan yang
anti kasual.
Saussure menegaskan pentingnya adalah telaah singkronis
bahasa. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya. Strukturalisme anistoris
memberikan tekanan pada aspek sinkronis suatu sistem, dan oleh karenanya
golongan ini memusatkan perhatian kepada hal kecil-kecil.
Dari sudut pandangan sosiologi sastra, strukturalisme
historis ini penting artinya ia menempatkan karya sastra sebagai data dasar
penelitian, memandangnya sebagai suatu sistem makna yang berlapis-lapis yang
merupakan suatu totalitas yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Sosiologi sastra dikembangkan oleh Goldman mencoba menyatukan
analisis struktural dengan materialism historis dan dialektif. Dengan demikian
untuk menelaah fakta-fakta kemanusiaan baik dalam strukturnya yang esensial
maupun dalam kenyataannya yang konkrit membutuhkan suatu metode yang serentak
bersifat sosiologis atau historis.
Goldman juga mengembangkan konsep tentang pendangan dunia
(vision du monde world vision) yang terwujud dalam semua karya sastra dan
filsafat yang besar. Pandangan dunia ini di artikan suatu struktur global yang
bermakna, suatu pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap meknanya
dengan segala kerumitan dan keutuhannya. Patutu dicatat bahwa pandangan dunia
ini tidak sama dengan ideology. Esensi ideologi terletak pada pendangannya yang
sepihak terhadap dunia, juga terletak pada kepalsuan gambarannya tentang
kenyataan.
Pandangan dunia bukan hanaya merupakan ekspresi kelompok
sosial, tetapi juga kelas sosial. Seorang pengarang adalah anggota kelas
sosial, sebab lewat suatu kelaslah ia berhubungan dengan perubahan sosial dan
politik yang besar. Dalam hal ini Goldman berpendapan bahw kepaduan internal
sustu karya sastra besar sama sekali tergantung kepada pandangan dunia yang
dimiliki si pengarang.
Kebesaran karya sastra merupakan syarat pertama dalam
pendekatan sosio-historis ini. Syarat tersebut didasarkan pada pandangan
Goldmann (1973:311-321) tentang fakta estetis. Fakta estetis terdiri dari dua
tataran korespondensi penting :
1.
Hubungan antara pendanga dunia sebagai suatu
kenyataaan yang dialami dan alam ciptaan pengarang.
2.
Hubungan antara alam ciptaan ini dan alat-alat
kesusastraan tertentu seperti sintaksis, gaya, dan citra yang dipergunakan
pengarang dalam penulisannya.
Syarat kedua bahwa metode ini sebaiknya diterapkan untuk
penelaahan karya sastra masa lampau, tetapi syarat ini bukan merupakan prinsip
hanya sekedar pertanyaan fakta saja. Dan dalam perjalanannya waktu semua itu
akan lenyap yang itnggal hanya satu factor saja. Factor inilah yang menyebabkan
para pembaca atau peminat menyadari apa yang mereka pikirkan dan rasakan secara
kabur dan kacau sekarang ini. Langkah yang selanjutnya bisa dilakukan dua
macam:
1.
Menunjukkan hubungan antara salah satu pandangan
dunia dan tokoh-tokoh serta hal-hal yang diciptakan dalam karya sastra
tertentu, yang disebut oleh Goldman yaitu “ estetika sosiologis”
2.
Mencoba menunjukkan hubungan antara alam ciptaan
pengarang dengan perlengkapan sastra yang dipergunakan pengarang untuk
menuliskannya, langkah ini disebut estetika sastra.
Goldmann mengakui bahwa dalam telaah-telaah yang
dilakukannya, langkaha pertama itulah yang terutama dipraktekkan, sedangkan
langkah yang kedua hanya disinggungnya secara sepintas lalu saja. Goldman
membicarakan baik karya sastra masa lampau maupun karya modern, antara lain ia
membuat telaah tentang pascal. Goldman menyatakan bahw fungsi pengarang adalah
sebagai oposisi kritis, semacam bentuk perlawanan terhadap perkembangan
masyarakat borjuis.
Goldmann setelah itu menjelaskan bahwa kelas sosial sebagai pusat
kreativitas sastra yang sejati telah menjadi tak begitu penting. Yang menjadi
faktor penentu adalah masyarakat sebagai suaatu totalitas, terutama sekali
struktur ekonominya. Pandangan dunia itulah yang telah menyediakan nilai-nilai
otentik yang dibutuhkan bagi penciptaan suatu “ genre yang padu dank keras “
yaitu novel.
6. Sastra, Politik, Dan Ideologi
Stendhal, seorang novelis Prancis awal abad kesembilan belas
yang dianggap sebagai bapak novel psikologis negerinya, pernah berpendapat
bahwa “ dalam karya sastra, politik adalah seumpama letusan pestol di tengah
pergelaran konser, ia terdengar keras dan kampungan tetapi mau tak mau kita
pasti memprhatikannya. Dalam novel politik, politik memainkan peranan utama dan
latar belakang politik merupakan latar belakang utama. Dalam bentuknya yang
paling ideal, novel politik adalah novel yang berisi ketegangan internal, unutk
bisa dianggap novel, ia harus penggambaran perilaku dan perasaan manusia di
samping itu ia harus merasapkan ideology modern.
Belum cukup kalau hanya dikatakan bahw ideologi hanya dapat
mengganggu novel, ia merupakan tantangan utama bagi novelis, yang harus
memusatkan segala keterampilan dan kecerdasannya untuk mengatasi barang abstrak
itu agar bisa masuk ke novel yang ditulisnya. Ketakutan terhadap masuknya
ideologi ke dalam novel cukup tersebar di kalangan kritikus dan penulis. Dapat
juga dikatakan bahwa novelis politik menghadapi kesulitan berat karena ia harus
menggunakan bahaaaan-bahan yang tak murni tetapi kalau ia berhasil menggunakan
bahan-bahan itu sebaik-baiknya, karya yang ditulisnya pasti akan unggul.
Criteria untuk menilai novel politik tentunya sama dengan
kriteria untuk menilai novel lain. Gagasan literature engage timbul sebagai
akibat dari pengaruh ideologi modern terhadap kesusastraan. Gagasan ini
bukanlah merupakan pengulangan suara lama yang pernah sering
didengung-dengungkan, yakni tuntutan bagi tempat yang layak dalam masyarakat
untuk sastrawan. Gagasan keterlibatan bersumber pada dua pokok hal :
1.
Kita kini dihadapkan kepada kenyataan yang
bergerak begitu cepatnya sehingga hampir tak ada kesempatan bagi kita untuk
memahaminnya.
2.
Kritis yang mendalam telah menimpa peradaban
kita.
Ada dua macam keberatan atau serangan terhadap gagasan keterlibatan ini.
1.
Literature engagee terlalu terlalu berbau
politik sehingga tak seha lagi
2.
Keadaan masyarakat modern kita ini telah
menyebabkan segala macam keterlibatan menjadi kuno.
Semua konflik moral dan ideologi dalam jaman ini mempunyai
latar belakang politik. Tak ada segi perjuangan hidup kita, baik yang bersifat
individual maupun sosial, yang tidak berbau politik. Konflik penting lain
adalah antara ideal dan kenyataan, begitu yang ideal dilaksanakan, timbul
kesulitan dan halangan. Yang sering membuat kita kecewa adalah bahwa
perkembangan jaman ternyata jauh dari yang kita harapkan.
Pengarang merupakan hak penuh untuk mengharapkan kebebasan
dari masyarakatnya, namun masyarakat juga mempunyai alas an untuk mengharapkan
rasa tanggung jawab sosial dari pengarang. Keyakina untuk tidak berkompromi itu
pada dasarnya merupakan pencermina kehendak untuk tidak mengalah saja kepada
kaum penguasa yang korup. Dalam hal ini pengarang harus berpihak kapada suatu
kekuatan sosial tertentu untuk melancarkan protes terhadap tata masyarakat yang
buruk, untuk melawan ketidakadilan.
7. Pengarang, Buku, Dan Pembaca
Sastra berkaitan dengan sejumlah factor sosial; untuk bisa
memahami asal-usul, bentuk, dan isinya, factor-faktor sosial itu bisa membentuk
kita. Factor-faktor itu antara lain: tipedan taraf ekonomi masyarakat tempatnya
berkarya, kelas atau kelompok yang mempunyai hubungan langsung atau tak
langsung dengannya, sifat-sifat pembacanya, sistem sponsor, sistem pengayoman,
tradisi sastra yang telah mempengaruhi karya-karyanya, dan keadaan kejiwaannya
sendiri.
Ada beberapa segi hubungan antara pengarang, buku, dan
pembaca yang didasarkan pada berbagai penelitian di berbagai negara, yaitu
meliputi :
1.
Masalah asal-usul kepengarangan dan pengayoman (patronage). (wallek dan Werren.
1956:93-96)
2.
Adanya pembagian kerja yang makin terperinci
dalam masyarakat.
Fungsi hubungan antara pengarang, buku, dan pembaca, yaitu :
1.
Untuk menyampaikan informasi
2.
Untuk mencatat sejarah
3.
Untuk mempergunakan hal-hal yang tidak
diketahui.
Masalah utama yang menjadi penghambat perkembangan pendidikan
adalah kemiskinan. Produksi buku menjadi usaha kapitalis, tidak ada bedanya
dengan usaha di bidang lain. Pada tahun 1880-an para novelis berhasil
mengumpulkan kekayaan yang luar biasa banyaknya, sehingga pada abad itu bahan
bacaan semakin banyak macamnya, dan novel berhasil menjadi bacaan yang utama.
Akhirnya semakin banyak berkembangnya perpustakaan.
Hal terakhir yang akan dipaparkan di sini adalah hasil
penelitian seorang ahli sosiologi akerika serikat, Robert N. Wilson
(1964:3-34), tentang tempat penyair dalam masyarakat Amerika masa kini.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan pengamatan. Dalam
bagian akhir karangannya itu, Wilson menyatakan bahwa penyair rupanya sudah
yakin akan profesinya. Tentunya penyair juga akan merasa senang apabila
puisinya laku keras, tetapi ia tetap mempertahankan kepenyairannya daripada
harus tunduk kepada ideology politik atau ekonomi yang sedang populer.
8. Masalah Sastra Populer
Dijaman modern ini kita telah menegaskan adanya perbedaan
antara sastra “seni” dan sastra popular. Sastra yang disebut pertama itu sering
juga dinakamakan sastra murni atau sastra elit, sedangkan yang kedua
kadang-kadang disebut sastra pop atau kitsch.
Seperti pernah disinggung sebelumnya, akhirnya sastra tidak hanya dianggap
sebagai barang seni, tetapi juga sebagai komiditi. Yang disebut terakhir itu
tampaknya menjadi semakin penting, dan oleh Karena itu banyak mendapat
perhatian dari para ahli ilmu sosial. Powenthal (1968: xvii-xviii) beranggapan
bahwa sebenarnya kebuadayaan popular itu sudah ada sejak dahulu kala, bahkan
boleh dikatakan suatu peradapan manusia ini.
Posisi sastra popular dalam masyarakat barangkali akan bisa
lebih jelas kita pahami denga mengikuti penjelasan Clement Greenberg tentang
perbedaan antara avant-garde dan kitsch (1965 : 3-21). Dalam karangannya itu
Greenberg mencoba menungkapkan posisi seni avantgarde dan kitsch yang
berdasarkan contoh-contoh yang disebutnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa
yang dimaksudkannya dengan avantgarde adalah seni murni atau elit, sedangkat
kitsch, tak lain berarti seni populer.
Di dalam masyarakat yang semakin kompleks seperti masyarakat
modern kita ini, sangatlah sulit bagi siapapun untuk menduga-duga apapun. Semua
kebenaran yang menyangkut agama, kekuasaan, tradisi, dan gaya semakin
dipertanyakan.
Tidaklah mengherankan apabila ternyata bahwa kelahiran
kebudayaan avantgarde secara kronologis, dan bahkan geografis, terjadi
bersamaan dengan perkembangan pertama dari pemikiran revolusioner ilmiah di
Eropa. Dengan demikian fingsi terpenting senia avant-garde bukanlah dalam hal
melakukan “eksperimen”. Melainkan dalam usahanya mencari jalan yang
memungkinkan kebudayaan terus berlangsung di tengah-tengah kebalauan dan
kekerasan ideologis.
Dalam usaha mencapai yang absolute inilah seniman dan penyair
avant-garde sampai pada seni dan puisi “abstrak” atau “nonobjektif”.
Nilai-nilai yang dipergunakannya untuk mencapai kemutlakan adalah nilai-nilai
yang nibsi, yakni nilai-nilai yang estetis. Jadi karya avant-garde merupakan
tiruan dari peniruan, kalau dasar anggapan kita adalah bahwa setiap karya seni
adalah tiruan.
Segala nilai sebenarnya adalah nilai yang diukur manusia,
jadi bersifat nibsi, baik dalam bidang seni maupun bidang lain. Namun demikian,
sebenarnya ada semacam kesamaan pendapat sisntara kaum “berbudaya” dalam
sejarah kemanusiaan dari zaman ke zaman dalam menentukan yang mana baik dan
mana yang buruk dalam seni.
Dalam perkembangannya pada zaman modern ini, kebudayaan massa
menciptakan medianya sendiri yang jarang sekali dipergunakan oleh
seniman-seniman yang sungguh-sungguh. Tumbuhnya kebudayaan massa erat sekali
hubungannya dengan pertumbuhan demokrasi politik dan pendidikan popular yang
telah berhasil menumbangkan monopoli kelas atas terhadap kebudayaan. Benar
bahwa sampai batas tertentu kebudayaan massa merupakan kelanjutan dari
kebudayaan rakyat yang sampai zaman revolusi industri merupakan kebudayaan
masyarakat luas. Namun perbedaan antara keduanya lebih menyolok daripada
persamaannya. Seni rakyat merupakan lembaga rakyat itu sendiri, tetapi
kebudayaan massa telah meruntuhkan pagar tersebut dan menyeret massa kea rah
bentuk kebudayaan luhur yang diturunkan.
Kebudayaan massa merupakan suatu kekuatan yang dinamisdan
revolusioner yang telah meruntuhkan batas-batas kelas, tradisi, dan cita rasa.
Yang terjadi selanjutnya bahwa kebudayaan massa telah meminjam warna kebudayaan
luhur, akademik, dan avant-garde, sementara ketiga yang disebut terakhir itu
mencair karena unsure-unsur massa. Kebudayaan massa tidak akan bisa mencapai
lebih tinggi. Kebudayaan hanya bisa dihasilkan oleh dan bagi manusia.
Rakyat adalah semacam keluarga, setiap anggotanya memilki
tempat dan fungsi sebagai perseorangan dan sekaligus berbagi minat dengan
anggota lain. Seni populer bukan pula sekedar seni buruk, jadi ukurannya bukan
ketakmampuannya memenuhi tuntutan kritik. Kebesaran suatu karya seni adalah
suatu atribut estetis yang pilah, yakni yang menyangkut soal kedalaman atau
jangkauan.
Ciri-ciri seni populer antara lain:
1.
Segi bentuk
2.
Pengharaman makna ganda
Pada zaman kita ini seni telah semakin tidak ada hubungannya
dengan masalah kebudayaan, agama, kasih sayang, perang, politik, dan [erjuangan
mencari nafkah. Titik tolak untuk
membicarakan kebudayaan populer tersebut memang bisa menempatkan seorang
peneliti pada posisi yang menyulitkan, ini diakui oleh lowenthal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar