Minggu, 01 Desember 2013

Pemahaman tentang orang yang disebut guru (Berdasarkan Undang-undang RI dari penggunaan istilah guru di masyarakat sejak zaman purba hingga sekarang)


            Guru mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan nasional, khususnya di bidang pendidikan, sehingga perlu dikembangkan sebagai tenaga profesi yang bermartabat dan profesional, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 tentang Guru dan Dosen Bab I Pasal 1 bahwa: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
            Selanjutnya dalam Bab II Pasal 2 diuraikan tentang kedudukan guru  sebagai berikut : (1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.  (2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Kemudian dalam pasal 4 diamanatkan bahwa ”Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.” Dan dalam penjelasan atas bab II pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tentang guru dan Dosen dijelaskan bahwa ”Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.”  Serta penjelasan bab II pasal 4 “Yang dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent)  adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.” 
1.      Istilah Guru Pada Zaman Purba
            Sebelum nenek moyang kita yang berasal dari daerah Yunan  (Tiongkok) menetap di Indonesia, disini sudah ada kebudayaan yakni kebudayaan penduduk asli, yang disebut kebudayaan palaeolitis (palaeos = lama, tua), seperti yang dijumpai pada orang-orang kubu, Wedda dan  Negrito (hal ini tidak banyak diketahui orang). Kebudayaan Indonesia asli mungkin merupakan campuran antara kebudayaan Melayu dan kebudayaan Palaeolitis. Kebudayaan Indonesia asli (kebudayaan nenek moyang kita ± 1500 sebelum, Masehi) disebut kebudayaan Neolitis (Neos = baru ). Sisanya masih kita  jumpai di pedalaman Kalimantan dan Sulawesi.
            Keadaan pendidikan pada zaman ini belum ada pendidikan secara formal. Pendidikan pada masa itu dilaksanakan hanya dalam lingkungan keluarga (dianggap sudah memenuhi kebutuhan). Yang menjadi pendidik terutama sekali ayah dan ibu. Ayah mengajarkan pengetahuan dan kepandaian yang ada padanya, kepada anak laki-laki, dan ibupun berbuat demikian pula kepada anak perempuannya. Selain itu pada waktu itu juga ada dua golongan manusia yang mempunyai kecakapan istimewa, yaitu pandai besi dan dukun, mereka itu begelar Empu. Pandai besi adalah seorang ahli dalam pengetahuan dunia, sedangkan dukun adalah akhli dalam pengetahuan maknawiah. Para Empu itu dapat pula disebut Guru, karena merekalah yang menjadi guru. Umumnya yang berguru padanya sangat terbatas, terutama anak-anaknya sendiri. hal tersebut dikarenakan tujuan pendidikan pada saat itu adalah supaya anak-anaknya itu kelak dapat memegang kekuasaan dalam masyarakat sebagai manusia yang mempunyai kecakapan istimewa. Selain itu manusia yang dicita-citakan yaitu manusia yang mempunyai semangat gotong royong, manusia yang menghormati para Empu, serta manusia yang taat akan adap.

2.       Istilah Guru Pada Kerajaan Hindu Budha
            Menurut teori Van leur ditegaskan pada abad-abad permulaan terjadilah hubungan perdagangan antara orang-orang Hindu dari India dengan orang-orang Indonesia. Untuk menjadi pedagang pada masa itu sukar sekali, karena banyak rintangannya, misalnya ; bajak laut dan banyak lagi resiko lainnya. Oleh karena itulah hanya Ketua Adat yang dapat menjadi pedagang, karena dialah yang bermodal besar. Kalau waktu itu orang berdagang, maka pedagang itu mempunyai sifat-sifat diplomatik. Ia mencari hubungan diplomatik dengan luar negeri. Hubungan itu penting sekali artinya bagi kelancaran perdagangan.
            Orang India memperkenalkan kebudayaan, bahasa, tulisan, dan agama mereka kepada nenek moyang kita. Setelah cukup banyak yang beragama Hindu, mulailah bermunculan pendatang yang antara lain bermaksud menetap. Mereka mulai memperkenalkan system pemerintahan yang sesuai dengan agama mereka. Maka berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia Mungkin sekali ketua - ketua adat. dari berbagai suku bangsa kita yang sudah beragama Hindu, kemudian mengangkat diri sebagai raja-raja secara lokal.
            Sedangkan keadaan pendidikan pada masa hindu-budha ini yaitu berupa
pendidikan formal. Pendidikan formal tersebut terjadi di kerajaan-kerajaan Tarumanegara, Kutai sudah berkembang Tenaga Pendidik/Guru. Yang mula-mula menjadi guru pada zaman itu adalah kaum Brahmana.Brahmana menjadi manusia istimewa, mereka menggantikan para Empu di Indonesia. Para Empu kemudian segera belajar kepada Brahmana. Baru setelah itu Empu-Empu itu menjadi guru dan mengganti kedudukan Brahmana. Pada zaman itu pula guru terbagi menjadi dua macam yaitu guru keraton, yaitu golongan yang dijamin. Dan guru pertapa, yaitu menginsafi tugasnya. Murid-murid guru keraton bukan anaknya atau rakyat jelata, tetapi keturunan para Brahmana, anak para bangsawan dan raja (Kasta Ksatrya).
            Pendidikan masih terbatas kepada golongan minoritas (kasta Brahmana dan Ksatrya), pendidikan semacam ini lebih tepat dinamakan perguruan, dimana anak-anak berguru kepada para cerdik cendekia. Kemudian lembaga seperti ini dikenal dengan Pesantren, tempat para Cantri (santri). Pesantren-pesatren banyak benar persesuaiannnya dengan tempat-tempat pelajaran Hindu di India.  Sugarda-purbakawaca 1978, halaman 19, menyatakan sifat-sifat khusus pesantren adalah : “Sifat keagamaan semata-mata; penghormatan yang tinggi kepada guru, tidak  ada  gajih guru, dan perginya pelajar meminta-minta untuk memperoleh nafkah “. Menjadi guru semata-mata karena kewajiban sebagai pandita/Brahmana yang didasarkan kepada perasaan tutus, mengabdi tanpa parnrih (tanpa memikirkan imbalan duniawi).
            Sistem pesantren perguruan ini berkembang terus baik pada masa Budha maupun waktu berkembangnya agama Islam, sampai saat sekarang (pesatren tradisional).
Guru pertapa lebih berjiwa kerakyatan. Mereka ingin mendekati rakyat dan tidak mendekati kraton, bahkan menjauhinya atau bersembunyi di hutan-hutan, supaya tak berselisih dengan kaum raja. Cita-citanya ialah mengangkat derajat rakyat jelata, kalau hal ini diketahui raja mereka akan dimasukkannya kedalam penjara. Peranan guru-guru pertapa itu penting sekali pada waktu penyebaran agama Islam.

3.       Istilah Guru Pada Zaman Berkembangnya Islam
            Karena adanya perdagangan hertarap internasional, maka datanglah ke Indonesia agama Islam, yaitu sekilar abad ke 13. Banyak pedagang asing yang rneluaskan wilayah perdagangannya ke Indonesia, selain saudagar Cina, terdapat sekelompok pedagang yang berasal dari daerah Gujarat, India, yang mengadakan kontak secara teratur dengan pedagang Indonesia yang berasal dari Sumatera dan Jawa. Saudagar-saudagar dari Gujarat tersebut sudah memeluk agama Islam. Disamping berdagang mereka juga berupaya mengajarkan dan mengembangkan agama Islam di kalangan pribumi dan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
            Penyebaran agama Islam keseluruh Indonesia dapat terlaksana melalui pusat-pusat perniagaan di daerah pantai Sumatera Utara dan melalui urat nadi perdagangan di Malaka, kemudian menyebar ke Pulau Jawa dan seterusnya ke Indonesia Bagian Timur. Peralihan dari agama dan kebudayaan Hindu/Budha ke Islam walaupun ada peperangan, pada umumnya berlangsung secara damai. Ketika agama Islam memasuki Indonesia, pengaruh ajaran dan cara berfikir Hindu masih kuat dan berakar di kalangan penduduk. Pada masa itu ada dua tipe guru, yaitu; yang per-tama guru untuk kalangan keraton dan bangsawan yang diundang atau hidup dilingkungan keraton untuk mengajar para putera raja dan kesatria lainnya; dan yang kedua adalah guru pertapa yang menyendiri bertapa di tempat-tempat jauh dari keramaian sambil  belajar, serta mendalami ilmu-ilmu ke Tuhanan    beserta    ilmu lain dan muridnya berasal dari rakyat jelata atau orang kebanyakan. Guru biasanya disebut ajengan atau kiyai.
            Para penyebar agama Islam banyak menghubungi guru tipe kedua ini sehingga melalui merekalah agama Islam tersebar luas di Indonesia. Beberapa tokoh penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang paling terkemuka berjumlah sembilan orang, kemudian disebut Wali Sanga dan diberikan sebutan atau gelar Sunan  (berasal dari kata susuhunan) yang berarti “yang dijunjung tinggi”. Pelajaran dimasa itu diberikan dengan sistem sekepala. Guru menyebutkan sesuatu dan murid menirunya. Yang dicita-citakan ialah dapat membaca Qur’an sampai tamat. Yang menjadi gurunya adalah seseorang yang sudah memiliki pengetahuan agama yang agak mendalam. Guru itu tetap dipandang sebagai seorang yang sakti. Murid-murid tidak boleh mengecam guru, mengecam guru dianggap berdosa.

4.      Istilah Guru Pada Penjajahan Belanda
a.       Zaman VOC ( Kompeni ) 1602 – 1799
            Orang Belanda yang telah bersatu dalam badan perdagangan VOC, menganggap perlu menggantikan agama Katolik yang telah disebarkan orang Portugis itu dengan agamanya yaitu agama Protestan. adalah badan milik orang Belanda, yang memejuk agama Protestan). Untuk menyebarkan agama (Protestan tersebut maka pada tahun 1617 VOC mendirikan sekolah. Sekolah itu pertama-tama ditujukan untuk mereka yang telah beragama Kristen (Protestan). Sekolah-sekolah itu terdapat di Ambon, Ternate, Menado, Jakarta (Batavia), Bawean, Timor, Maluku  dan Nusa Tenggara Timur. Di Pulau Jawa sekolah-sekolah hanya terbatas di kota dan pantai untuk menampung pegawai VOC yang beragama Kristen.
b.      Periode 1801 – 1900
            Sejak pertengahan abad ke 19 liberalisme dan aufklarung dari Eropah telah mempengaruhi politik Belanda di Indonesia. Gubernur Jenderal Daendels, meminta agar diselenggarakan pengajaran untuk memperkenalkan kesusilaan, adat istiadat, hukum dan agama kepada orang jawa. Kemudian pada tahun 1848 barulah dimulai anggaran pendidikan sebanyak f 25.000,- untuk semua orang-orang Indonesia.
            Sambil mengijinkan sekolah swasta, pemerintah mendirikan sekolah rendah, kelas dua selama 5 tahun untuk rakyat dengan pelajaran terbatas seperti : Bahasa Melayu, Bahasa Ibu, Berhitung, Menulis, Ilmu Bumi, Pengukuran Tanah dan Latihan Kerja Kantor. Tahun 1809 untuk perlama kali diselenggarakan pendidikan Bidan, yang rnerupakan bagian dari pada usaha pemeliharaan kesehatan rakyat. Yang menjadi gurunya adalah para dokter yang berada di Batavia. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu
c.       Masa sesudah 1900 sampai berakhirnya pemerintahan Belanda
            Menteri Pengajaran dan Agama yang tadinya berupaya seorang diri meluaskan Pengajaran bahasa belanda dan pendidikan wanita kembali ikut mendapat semangat baru. RA. Kartini dan orang Belanda, banyak yang mulai melihat bahwa sekolah kejuruan dapat memajukan kesejahtraan sosial.
5.      Zaman Jepang
            Kejayaan dan masa keemasan kaum penjajah Belanda hilang lenyap sekaligus, ketika pada tanggal 8 Maret 1942 mereka bertekuk lutut tanpa syarat kepada Jepang. Maka Bangsa Indonesia mengalami penjajahan dan penderitaan baru.
            Perubahan-perubahan penting  yang terjadi pada zaman Jepang, khususnya bagi perkembangan pendidikan/pengajaran selanjutnya di Indonesia.
a.       Hapusnya dualisrne pengajaran
            Berbagai jenis sekolah rendah yang dilaksanakan pada.zaman Belanda, dihapuskan sama sekali.. Hanya satu jenis sekolah rendah diadakan bagi semua lapisan masyarakat yaitu sekolah rakyat 6 tahun yang populer dengan nama “ Kokumin Gakkoo. Sekolah-sekolah Desa masih tetap ada dan namanya diganti menjadi Sekolah Pertama. Isi Pengajaran :
            Selain sebagai alat propaganda, maka pengajaran dewasa itu dipergunakan juga untuk kepentingan perang. Murid-murid sering kali diharuskan melakukan kinrohooshi (kerja bakti). Agar sesuatu berjalan lancer, ditentuklah barisan-barisan murid ditiap¬tiap sekolah, yaitu :
1)      Seinen tai, barisan murid-murid Sekolah Rakyat
2)      Gakuto tai, barisan murid-murid Sekolah Lanjutan
            Untuk menanamkan semangat Jepang, setiap hari murid-murid harus mengucapkan sumpah pelajar dalam bahasa Jepang. Sewaktu-waktu diadakan perlombaan bahasa dan nyanyian-nyanyian jepang. Tiap pagi diadakan upacara, ketika upacara itu murid-murid harus menyembah bendera Jepang dan melakukan penghormatan kearah istana Tokyo.

6.       Zaman Kemerdekaan
            Proklamasi Kemerdekaan menimbulkan hidup baru disegala lapangan termasuk Iapangan pendidikan. Sebagai modal dan pedoman pertama bagi rakyat dan pemerintah di bidang pendidikan dipergunakanlah " Rencana Usaha Pendidikan Pengajaran " yang telah dipersiapkan pada hari-hari terakhir penjajahan Jepang itu. Dengan segera Menteri PP dan K yang pertama Ki Hajar Dewantara mengeluarkan instruksi umum yang memerintahkan kepada semua kapala sekolah dan guru-guru :
a.       Mengibarkan Sang Merah Putih tiap-tiap hari dihalaman sekolah
b.      Melagukan lagu kebangsaan " Indonesia Raya "
c.       Menghentikan Pengibaran Bendera Jepang dan rnenghapuskan  “Kimigajo” (lagu kebangsaan Jepang)
d.      Menghapuskan pelajaran bahasa Jepang, serta segala upacara yang berasal dari pemerintahan Balatentara Jepang
e.       Memberi semangat kebangsaan kepada semua murid-murid
            Alisyahbana (1990) mengemukakan ada 3 macam pesimisme dikalangan para ahli pendidikan, yaitu :
a.       Pemerintah seolah-olah belum memiliki political will yang kuat untuk memperbaiki  pendidikan.
b.      Orang Indonesia memiliki budaya begitu lamban melakukan transformasi social, yang sangat perlu untuk mengadakan adaptasi terhadap dunia yang berubah dengan cepat
c.       Seolah-olah sulit rnuncul tokoh pcrnikir yang berani mcnyusun dan memperjuangkan konsep-konsep yang bertalian dengan pendidikan nasional yang mungkin tidak sejalan dengan keinginan pai-a birokrat yang berkuasa.

            Masalah lain yang tertulis dalam Deklarasi Konvensi Nasional Pendidikan 11 Tahun 1992  mengatakan :
a.       Realisasi tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah belum terwujud secara menyeluruh dan bahkan belum dihayati sepenuhnya oleh semua pihak.
b.      Diperlukan political will dan dukungan biaya yang memadai untuk pendidikan daerah  terpencil
c.       Penanaman nilai-nilai budaya maupun agama tidak cukup melalui bidang studi saja.
            Salah satu dampak dari hasil pembangunan yang tidak seimbang, adalah :
•    Munculnya kenakalan dan perkelahian anak-anak muda disana sini
•    Maraknya kolusi diberbagai kalangan, ditulis Baharuddin Lopa (1996)
•    Tingginya tingkat korupsi menurut laporan Fortune tentang korupsi di Asia dan            survey internasional TIN (Jawa Post 14-8 1985 dan 10-2-1996).
            Namun bukan berarti pembangunan Indonesia sudah gagal, masih ada segi-segi keberhasilan pembangunan yang menonjol, seperti :
a.       Kesadaran rnasyarakat tentang pentingnya melaksanakarn ajaran agama sudah meningkat dengan pesat
b.      Persatuan dan kesatuan bangsa masih terkendali.

7.      Masa Reformasi
           Pada masa reformasi, sistem pendidikan mulai berubah, yang didahului oleh perubahan Undang-Undang Pendidikan. UU ini menginginkan sistem pendidikan sentralisasi berubah menjadi desentralisasi. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan yaitu MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Life Skills (lima keterampilan hidup) dan TQM (Total Quality Management). Pemerintah juga menciptakan kelompok-kelompok masyarakat yang independen untuk membantu pendidikan agar mampu mandiri seperti Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Di samping itu pemerintah juga mengubah istilah pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah menjadi pendidikan jalur formal, nonformal dan informal. Pendidikan nonformal sangat berperan dalam mengembangkan keterampilan warga belajar untuk mampu bekerja di masyarakat sedangkan pendidikan informal di masyarakat dan dalam keluarga sangat berperan dalam mengembangkan afeksi atau kepribadian, sikap,moral dan mental anak-anak.

8.      Mengenai Guru menurut Undang-undang
            Sebagai pendidik dan pengajar anak, guru diibaratkan seperti ibu kedua yang mengajarkan berbagai macam hal yang baru dan sebagai fasilitator anak supaya  dapat belajar dan mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal,hanya saja ruang lingkupnya guru berbeda, guru mendidik dan mengajar di sekolah negeri ataupun swasta. Pengertian guru menurut para ahli:
a)      Menurut Noor Jamaluddin (1978: 1)
           Guru adalah pendidik, yaitu orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu berdiri sendiri dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial dan individu yang sanggup berdiri sendiri.
b)      Menut Peraturan Pemerintah
           Guru adalah jabatan fungsional, yaitu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang PNS dalam suatu organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan keahlian atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.
c)      Menurut Keputusan Men.Pan
           Guru adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pendidikan di sekolah.
d)     Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005
           Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar