Sabtu, 10 Mei 2014

Analisis Naskah Drama "THEATRUM" karya Akhudiat



1.      Pendahuluan
Drama merupakan salah satu genre sastra yang menarik untuk dibahas. Istilah drama berasal dari Yunani, yaitu dramoi yang berarti ‘aksi’ atau ‘perbuatan’. Istilah drama itu sendiri sudah menyiratkan makna ‘peristiwa’, ‘karangan’, dan ‘risalah’.
Drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di anatara tokoh-tokoh yang ada. Drama juga secara eksplisit memperlihatkan adanya petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan tokoh (Hall dalam Wahyudi, 2006: 104).
Drama pada awalnya digunakan dalam suatu ritual pemujaan terhadap para dewa. Akan tetapi, ritual tersebut mengalami perkembangan menjadi oratoria, yaitu seni berbicara, kemudian berkembang menjadi drama.
Salah satu jenis drama yang berkembang adalah drama realisme. Realisme adalah aliran atau ajaran yang selalu berpegang pada kenyataan, dan dalam kesenian, aliran ini berusaha mengungkapkan sesuatu sebagaimana kenyataan yang ada. Realisme digambarkan sebagai peniruan, bukan dari karya seni tradisi, melainkan peniruan dari aslinya yang disajikan oleh alam.
Drama realis bermula pada abad 19. Drama ini bertolak dari pikiran positifitis orang Eropa. Drama realis pada umumnya merupakan usaha untuk menampilkan subjek dalam suatu karya sebagaimana subjek itu tampil dalam kehidupan sehari-hari tanpa melebih-lebihkan. Drama realis ingin memberikan wawasan dalam kenyataan kehidupan, memperlihatkan kebenaran, bahkan tanpa menyembunyikan keburukan-keburukan yang ada. Pada umumnya, apa yang dikemukakan oleh drama realis adalah suatu kebenaran umum atau wajar.
2.      Analisis Theatrum
2.1  alur
Alur adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum sebab-akibat (Sumardjo, 1994: 139). Alur merupakan salah satu aspek penting dalam drama karena alur merupakan pembentuk kerangka cerita. Aristoteles bahkan menyatakan bahwa alur adalah roh drama (Sumardjo, 1994: 141).
Alur dalam naskah Thetrum ini adalah alur alur maju atau linear, yaitu peristiwa yang dialami oleh tokoh cerita tersusun menurut urutan waktu terjadinya (chronological order) secara berurutan. Alur ini berlangsung secara kontinyu dan memuncak.
1.      Unsur ketegangan (suspense)
Ketidakpastian yang berkepanjangan dan semakin menjadi-jadi akan menimbulkan ketegangan. Adanya ketegangan dalam drama menumbuhkan dan memelihara rasa ingin tahu penonton dari awal sampai akhir suatu cerita.
2.      Unsur dadakan (surprise)
Unsur dadakan akan menyusun cerita sedemikian rupa hingga muncul dugaan-dugaan yang tidak disangka-sangka oleh pembaca dan mengagetkan.
3.      Unsur ironi dramatik
Unsur ini membentuk pernyataan-pernyataan atau perbuatan-perbuatan tokoh cerita yang seakan-akan meramalkan apa yang akan terjadi.
Dalam drama Theatrum, terlihat unsur ketegangan dan unsur dadakan. Unsur ketegangan terjadi ketika Oknum Hakim ingin melanjutkan tuduhan-tuduhan  terhadap kasus yang di lakukan oleh Terdakwa.
Oknum Hakim :
Terserah, terdakwaq, pengadilan sesat atawa tersesat yang jelas… lanjutkan Tuan jaksa, membacakan tuduhan-tuduhannya!
Terdakwa tidak menghormati pengadilan Empat, terdakwa berbelit-belit Lima, terdakwa dalam keadaaan waras dan sehat wal afiat, berdasarkan bukti-bukti menyakinkan dengan ini terdakwa dituntut dengan hukuman 20 tahun potong tahanan.
Oknum Jaksa :
Tuduhan-tuduhan sebagai berikut: satu, terdakwa sadis, dua kepala dihabisi sekali tebas dua nyawa melayang Dua, terdakwa tidak kooperatif Tiga.
.
.
.
.
Terdakwa :
Pengangguran dan kelaparan muaranya kriminalitas, rebutan lahan dan pangan. Terlalu benyak geng preman untuk satu kota. Kota pun jadi ajang pernag dan kekearasan. Limgkaran setan bikinan manusia sendiori. Saya cumin salah satu korban perang dan kekerasan kota. Dan kalian abdi hukum ternyata cumin mengabdi kata per kata prosedur hukum bukan hati nurani kalian sendiri.
            Unsur dadakan dalam Drama Theatrum, yakni ketika terdakwa menolak atas putusan vonis Oknum Hakim.
Terdakwa :
Saya menolak. Minta vonis seumur hidup, tuan-tuan hamba wet!
Tiga Oknum :
Dipertimbangkan
Terdakwa :
Prosedur lagi, prosedur lagi. Tambah kebijaksanaan, bijak sana-injak sini. Jadilah undang-undang dan hukum molor-mengkeret seperti karet Kapan pastinya? Dan sidang pengadilan jadi sandiwara-drama-tonil, alias ethok-ethok. Seolah-olah. Saya salah satu korban sandiwara kalian. Kita teruskan sandiwara ini.
2.2  Latar
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya yang membangun cerita (Sudiman dalam Teeuw, 2003: 44). Latar dibedakan atas dua macam yaitu latar sosial dan latar fisik atau material (Hudson dalam Teeuw, 2003: 44). Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, dan bahasa. Latar fisik adalah tempat di dalam wujud fisiknya, yaitu ruang, bangunan, lokasi dan sebagainya.
            Latar sosial dalam Theatrum yaitu lingkungan para orang berdasi yang barada di bidang hukum untuk membahas suatu perkara tindak social di masyarakat.
            Latar fisik dalam Theatrum yaitu dalam situasi sidang perkara kasus pembunuhan.
Terdakwa ;
Aku terdakwa dalam kasus pembunuhan yang tak pernah kulakukan. Ini memang pengadilan sesat. Tentu saja, mulainya dari para penyidik di kepolisian. Mereka ngarang. Terlalu berbakat.
Sebuah stasiun kecil di luar kota, di seberang rel sana kebun tebu luas sekali, dari sungai di barat sampai jalan raya antarkota di timur. Antara rel dan tebu tanah lapang kosong. Pagi-siang-sore tempat main bola. Malam hari tanpa penerangan listrik arena tawar-menawar sebelum mereka menelusup di tebu-tebu: lelaki main perempuan-perempuan main lelaki. Benar-benar romantic picisan. Beralas dedaunan tebu musim panas, atau sewa tikar pandan berbungkus plastic di musim hujan. Tebu-tebu bergoyang, berpasang-pasang sedang bermain dalam gelap bagai kucing suka gelap-gelapan.
Ketika menjelang subuh sepasang lelaki-perempuan yang menelusup rumpun tebu dekat tanggul sungai, terinjak pasangan lain dan yang terinjak itu sama sekali bergeming. Keduanya ternyata sudah mayat dengan leher terjerat.

2.3  Tokoh dan penokoahan
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita (Sudjiman, 1991: 16). Tokoh-tokoh dalam drama ini adalah Terdakwa, Desas, Desus, Oknum Hakim, Oknum Jaksa, Oknum Polisi, sebuah kepala, sicipta alias si anu, pabrikan, buruh, lawyer, Bank. Berdasarkan fungsinya, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral dapat dibagi menjadi tokoh protagonis, antagonis, dan wirawan atau wirawati.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang memegang peran pimpinan atau tokoh utama dan menjadi pusat sorotan dalam kisahan. Tokoh antagonis adalah tokoh yang merupakan penentang utama dari protagonis. Tokoh wirawan atau wirawati juga merupakan tokoh penting yang cenderung dapat menggeser kedudukan tokoh utama. Tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama.
Berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi tokoh datar (tokoh sederhana) dan tokoh bulat (tokoh kompleks). Tokoh datar diungkapkan satu segi wataknya saja sedangkan tokoh bulat ditampilkan lebih dari satu. Selain itu, tokoh bulat juga mampu memberikan kejutan dengan munculnya segi watak lain yang tak terduga.tokoh datar dalam Theatrum yaitu Bank, Buruh & Pabrikan, Desas, Desus.
Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (Sudjiman dalam Sudjiman, 1991: 23). Metode penyajian penokohan dapat dibagi menjadi metode langsung, tak langsung, dan kontekstual. Metode langsung dipakai pengarang yang langsung mengisahkan sifat-sifat tokoh hasrat, pikiran, dan perasaannya. Jika pembaca harus menyimpulkan watak tokoh dari pikiran, cakapan, dan lakuan, metode yang dipakai adalah metode tak langsung.
Watak Terdakwa : selalu mambantah kepada Oknum yang berada di kejaksaan, berani ambil resiko terhadap apa yang dikatakan, berani bertanggung jawab.
Terdakwa :
Pengangguran dan kelaparan muaranya kriminalitas, rebutan lahan dan pangan. Terlalu benyak geng preman untuk satu kota. Kota pun jadi ajang pernag dan kekearasan. Limgkaran setan bikinan manusia sendiori. Saya cumin salah satu korban perang dan kekerasan kota. Dan kalian abdi hukum ternyata cumin mengabdi kata per kata prosedur hukum bukan hati nurani kalian sendiri.

Terdakwa :
Saya menolak. Minta vonis seumur hidup, tuan-tuan hamba wet!
Watak Desas dan Desus : suka beranggapan yang aneh yang belum tentu itu kenyataannya.
Desas :
Duta kan masih jomblo
Desus :
Jomblo apanya? Sukak kluyuran-keliaran di Taman Bencongan.
Desas :
Hah?!
Desus :
Ya, apalagi di sana kalo bukan main sipel.
Desas :
Huek!!
Watak Tiga Oknum : tidak konsisten terhadap apa yang telah di sampaikan. Berbelit-belit dalam mengambil keputusan.
Tiga Oknum :
Kamu di vonis 20 tahun.(Hakim meukul palu:DOK!!)
Terdakwa :
Saya menolak. Minta vonis seumur hidup, tuan-tuan hamba wet!
Tiga Oknum :
Dipertimbangkan!!




Watak sebuah kepala : sangat tegas.
Kepala :
Ini juga bukti bahwa kata-kata makan korban
Watak sicipta Ami alias Si anu : Mudah terpengaruh terhadap bujukan Lawyer.
Lawyer :
Hai, kalian, pencipta barang anu alias sicipta anu, pabrikan, dan buruh, kalian semua butuh lawyer. Saya lawyer. Akan aku bantu kalian. Demia uang kalian aku sepak kambing-kambing lain. Kau punya uang? Uang, uang, punya kau? Ha?!
Si cipta anu :
Ya, aku punya sedikit.
Watak pabrikan dan buruh : sama dengan watak sicipta anu yaitu mudah percaya terhadap lawyer yang akan malindunginya.
Buruh & pabrikan :
Oke-oke aja! Kami cinta sicipta anu. Kami cinta kamu! Kau lawyer haibat!di mana kami tandatangani?
Lawyer :
Disini, dong?
Buruh & pabrikan :
Bagus! Bikin masalah dengan masalah! Dan kami akan memroduksi produk anu kita dengan segera!
Watak Lawyer : suka menawarkan kemahirannya dalam bidang hukum untuk membela clientnya walau itu bwlum tentu benar.
Lawyer :
Hai, kalian, pencipta barang anu alias sicipta anu, pabrikan, dan buruh, kalian semua butuh lawyer. Saya lawyer. Akan aku bantu kalian. Demia uang kalian aku sepak kambing-kambing lain. Kau punya uang? Uang, uang, punya kau? Ha?!
Watak Bank : percaya kepada lawyer
Bank :
Aku rundingan dulu dengan lawyerku.



3.      Kesimpulan
Bahwa hukum di Negara kita Indonesia ini benar-benar sangat memprihatinkan. Bias untu di perjual belikan. Yang salah jadi benar dan yang benar bias jadi yang salah dan menanggung akibatnya. Pencuri sandal di masjid atau pencuri buah semangka untuk di makan saja bias di usut dan dihukum 5 tahun penjara. Sedangkan orang yang korupsi milyaran rupiah hanya di hukum 1,5 tahun penjara. Tak sebanding dengan apa yang telah mereka perbuat. Semoga hukum kita di Indonesia benar-benar sangat bijaksana nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar