1. Pendahuluan
Drama
merupakan salah satu genre sastra yang menarik untuk dibahas. Istilah drama
berasal dari Yunani, yaitu dramoi yang berarti ‘aksi’
atau ‘perbuatan’. Istilah drama itu sendiri sudah menyiratkan makna
‘peristiwa’, ‘karangan’, dan ‘risalah’.
Drama adalah
sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal
adanya dialogue atau cakapan di anatara tokoh-tokoh yang
ada. Drama juga secara eksplisit memperlihatkan adanya petunjuk pemanggungan
yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan
tokoh (Hall dalam Wahyudi, 2006: 104).
Drama pada
awalnya digunakan dalam suatu ritual pemujaan terhadap para dewa. Akan tetapi,
ritual tersebut mengalami perkembangan menjadi oratoria, yaitu
seni berbicara, kemudian berkembang menjadi drama.
Salah satu
jenis drama yang berkembang adalah drama realisme. Realisme adalah aliran atau
ajaran yang selalu berpegang pada kenyataan, dan dalam kesenian, aliran ini
berusaha mengungkapkan sesuatu sebagaimana kenyataan yang ada. Realisme
digambarkan sebagai peniruan, bukan dari karya seni tradisi, melainkan peniruan
dari aslinya yang disajikan oleh alam.
Drama realis
bermula pada abad 19. Drama ini bertolak dari pikiran positifitis orang Eropa.
Drama realis pada umumnya merupakan usaha untuk menampilkan subjek dalam suatu
karya sebagaimana subjek itu tampil dalam kehidupan sehari-hari tanpa
melebih-lebihkan. Drama realis ingin memberikan wawasan dalam kenyataan
kehidupan, memperlihatkan kebenaran, bahkan tanpa menyembunyikan
keburukan-keburukan yang ada. Pada umumnya, apa yang dikemukakan oleh drama
realis adalah suatu kebenaran umum atau wajar.
2.
Analisis
Theatrum
2.1 alur
Alur
adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum
sebab-akibat (Sumardjo, 1994: 139). Alur merupakan salah satu aspek penting
dalam drama karena alur merupakan pembentuk kerangka cerita. Aristoteles bahkan
menyatakan bahwa alur adalah roh drama (Sumardjo, 1994: 141).
Alur dalam
naskah Thetrum ini adalah alur alur maju atau linear, yaitu peristiwa yang
dialami oleh tokoh cerita tersusun menurut urutan waktu terjadinya (chronological
order) secara berurutan. Alur ini berlangsung secara kontinyu dan
memuncak.
1.
Unsur ketegangan (suspense)
Ketidakpastian yang
berkepanjangan dan semakin menjadi-jadi akan menimbulkan ketegangan. Adanya
ketegangan dalam drama menumbuhkan dan memelihara rasa ingin tahu penonton dari
awal sampai akhir suatu cerita.
2.
Unsur dadakan (surprise)
Unsur dadakan
akan menyusun cerita sedemikian rupa hingga muncul dugaan-dugaan yang tidak
disangka-sangka oleh pembaca dan mengagetkan.
3.
Unsur ironi dramatik
Unsur ini
membentuk pernyataan-pernyataan atau perbuatan-perbuatan tokoh cerita yang
seakan-akan meramalkan apa yang akan terjadi.
Dalam drama Theatrum,
terlihat unsur ketegangan dan unsur dadakan. Unsur ketegangan
terjadi ketika Oknum Hakim ingin melanjutkan tuduhan-tuduhan terhadap kasus yang di lakukan oleh Terdakwa.
Oknum Hakim :
Terserah, terdakwaq, pengadilan sesat atawa tersesat yang jelas…
lanjutkan Tuan jaksa, membacakan tuduhan-tuduhannya!
Terdakwa tidak menghormati pengadilan Empat, terdakwa berbelit-belit
Lima, terdakwa dalam keadaaan waras dan sehat wal afiat, berdasarkan
bukti-bukti menyakinkan dengan ini terdakwa dituntut dengan hukuman 20 tahun
potong tahanan.
Oknum Jaksa :
Tuduhan-tuduhan sebagai berikut: satu, terdakwa sadis, dua kepala
dihabisi sekali tebas dua nyawa melayang Dua, terdakwa tidak kooperatif Tiga.
.
.
.
.
Terdakwa :
Pengangguran dan kelaparan muaranya kriminalitas, rebutan lahan dan pangan.
Terlalu benyak geng preman untuk satu kota. Kota pun jadi ajang pernag dan
kekearasan. Limgkaran setan bikinan manusia sendiori. Saya cumin salah satu
korban perang dan kekerasan kota. Dan kalian abdi hukum ternyata cumin mengabdi
kata per kata prosedur hukum bukan hati nurani kalian sendiri.
Unsur
dadakan dalam Drama Theatrum, yakni ketika terdakwa menolak atas putusan vonis
Oknum Hakim.
Terdakwa :
Saya menolak. Minta vonis seumur hidup, tuan-tuan hamba wet!
Tiga Oknum :
Dipertimbangkan
Terdakwa :
Prosedur lagi, prosedur lagi. Tambah kebijaksanaan, bijak sana-injak
sini. Jadilah undang-undang dan hukum molor-mengkeret seperti karet Kapan
pastinya? Dan sidang pengadilan jadi sandiwara-drama-tonil, alias ethok-ethok.
Seolah-olah. Saya salah satu korban sandiwara kalian. Kita teruskan sandiwara
ini.
2.2 Latar
Latar adalah segala keterangan,
petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya
peristiwa dalam suatu karya yang membangun cerita (Sudiman dalam Teeuw, 2003:
44). Latar dibedakan atas dua macam yaitu latar sosial dan latar fisik atau
material (Hudson dalam Teeuw, 2003: 44). Latar sosial mencakup penggambaran
keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara
hidup, dan bahasa. Latar fisik adalah tempat di dalam wujud fisiknya, yaitu
ruang, bangunan, lokasi dan sebagainya.
Latar
sosial dalam Theatrum yaitu lingkungan para orang berdasi yang barada di bidang
hukum untuk membahas suatu perkara tindak social di masyarakat.
Latar
fisik dalam Theatrum yaitu dalam situasi sidang perkara kasus pembunuhan.
Terdakwa ;
Aku terdakwa dalam kasus pembunuhan yang tak pernah kulakukan. Ini
memang pengadilan sesat. Tentu saja, mulainya dari para penyidik di kepolisian.
Mereka ngarang. Terlalu berbakat.
Sebuah stasiun kecil di luar kota, di seberang rel sana kebun tebu luas
sekali, dari sungai di barat sampai jalan raya antarkota di timur. Antara rel
dan tebu tanah lapang kosong. Pagi-siang-sore tempat main bola. Malam hari
tanpa penerangan listrik arena tawar-menawar sebelum mereka menelusup di
tebu-tebu: lelaki main perempuan-perempuan main lelaki. Benar-benar romantic
picisan. Beralas dedaunan tebu musim panas, atau sewa tikar pandan berbungkus
plastic di musim hujan. Tebu-tebu bergoyang, berpasang-pasang sedang bermain
dalam gelap bagai kucing suka gelap-gelapan.
Ketika menjelang subuh sepasang lelaki-perempuan yang menelusup rumpun
tebu dekat tanggul sungai, terinjak pasangan lain dan yang terinjak itu sama
sekali bergeming. Keduanya ternyata sudah mayat dengan leher terjerat.
2.3 Tokoh
dan penokoahan
Tokoh adalah
individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai
peristiwa cerita (Sudjiman, 1991: 16). Tokoh-tokoh dalam drama ini adalah
Terdakwa, Desas, Desus, Oknum Hakim, Oknum Jaksa, Oknum Polisi, sebuah kepala,
sicipta alias si anu, pabrikan, buruh, lawyer, Bank. Berdasarkan fungsinya,
tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral
dapat dibagi menjadi tokoh protagonis, antagonis, dan wirawan atau wirawati.
Tokoh
protagonis adalah tokoh yang memegang peran pimpinan atau tokoh utama dan
menjadi pusat sorotan dalam kisahan. Tokoh antagonis adalah tokoh yang
merupakan penentang utama dari protagonis. Tokoh wirawan atau wirawati juga
merupakan tokoh penting yang cenderung dapat menggeser kedudukan tokoh utama.
Tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita
tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh
utama.
Berdasarkan
cara menampilkan tokoh dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi tokoh datar (tokoh
sederhana) dan tokoh bulat (tokoh kompleks). Tokoh datar diungkapkan satu segi
wataknya saja sedangkan tokoh bulat ditampilkan lebih dari satu. Selain itu,
tokoh bulat juga mampu memberikan kejutan dengan munculnya segi watak lain yang
tak terduga.tokoh datar dalam Theatrum yaitu Bank, Buruh & Pabrikan, Desas,
Desus.
Penokohan
adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (Sudjiman dalam
Sudjiman, 1991: 23). Metode penyajian penokohan dapat dibagi menjadi metode
langsung, tak langsung, dan kontekstual. Metode langsung dipakai pengarang yang
langsung mengisahkan sifat-sifat tokoh hasrat, pikiran, dan perasaannya. Jika
pembaca harus menyimpulkan watak tokoh dari pikiran, cakapan, dan lakuan,
metode yang dipakai adalah metode tak langsung.
Watak
Terdakwa : selalu mambantah kepada Oknum yang berada di kejaksaan, berani ambil
resiko terhadap apa yang dikatakan, berani bertanggung jawab.
Terdakwa :
Pengangguran dan kelaparan muaranya kriminalitas, rebutan lahan dan
pangan. Terlalu benyak geng preman untuk satu kota. Kota pun jadi ajang pernag
dan kekearasan. Limgkaran setan bikinan manusia sendiori. Saya cumin salah satu
korban perang dan kekerasan kota. Dan kalian abdi hukum ternyata cumin mengabdi
kata per kata prosedur hukum bukan hati nurani kalian sendiri.
Terdakwa :
Saya menolak. Minta vonis seumur hidup, tuan-tuan hamba wet!
Watak
Desas dan Desus : suka beranggapan yang aneh yang belum tentu itu kenyataannya.
Desas :
Duta kan masih jomblo
Desus :
Jomblo apanya? Sukak
kluyuran-keliaran di Taman Bencongan.
Desas :
Hah?!
Desus :
Ya, apalagi di sana kalo bukan main
sipel.
Desas :
Huek!!
Watak
Tiga Oknum : tidak konsisten terhadap apa yang telah di sampaikan.
Berbelit-belit dalam mengambil keputusan.
Tiga Oknum :
Kamu di vonis 20 tahun.(Hakim
meukul palu:DOK!!)
Terdakwa :
Saya menolak. Minta vonis seumur
hidup, tuan-tuan hamba wet!
Tiga Oknum :
Dipertimbangkan!!
Watak
sebuah kepala : sangat tegas.
Kepala :
Ini juga bukti bahwa kata-kata
makan korban
Watak
sicipta Ami alias Si anu : Mudah terpengaruh terhadap bujukan Lawyer.
Lawyer :
Hai, kalian, pencipta barang anu
alias sicipta anu, pabrikan, dan buruh, kalian semua butuh lawyer. Saya lawyer.
Akan aku bantu kalian. Demia uang kalian aku sepak kambing-kambing lain. Kau
punya uang? Uang, uang, punya kau? Ha?!
Si cipta anu :
Ya, aku punya sedikit.
Watak pabrikan dan buruh : sama
dengan watak sicipta anu yaitu mudah percaya terhadap lawyer yang akan
malindunginya.
Buruh & pabrikan :
Oke-oke aja! Kami cinta sicipta
anu. Kami cinta kamu! Kau lawyer haibat!di mana kami tandatangani?
Lawyer :
Disini, dong?
Buruh & pabrikan :
Bagus! Bikin masalah dengan
masalah! Dan kami akan memroduksi produk anu kita dengan segera!
Watak
Lawyer : suka menawarkan kemahirannya dalam bidang hukum untuk membela
clientnya walau itu bwlum tentu benar.
Lawyer :
Hai, kalian, pencipta barang anu
alias sicipta anu, pabrikan, dan buruh, kalian semua butuh lawyer. Saya lawyer.
Akan aku bantu kalian. Demia uang kalian aku sepak kambing-kambing lain. Kau
punya uang? Uang, uang, punya kau? Ha?!
Watak Bank : percaya kepada lawyer
Bank :
Aku rundingan dulu dengan lawyerku.
3. Kesimpulan
Bahwa
hukum di Negara kita Indonesia ini benar-benar sangat memprihatinkan. Bias untu
di perjual belikan. Yang salah jadi benar dan yang benar bias jadi yang salah
dan menanggung akibatnya. Pencuri sandal di masjid atau pencuri buah semangka
untuk di makan saja bias di usut dan dihukum 5 tahun penjara. Sedangkan orang
yang korupsi milyaran rupiah hanya di hukum 1,5 tahun penjara. Tak sebanding
dengan apa yang telah mereka perbuat. Semoga hukum kita di Indonesia
benar-benar sangat bijaksana nantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar