Sabtu, 10 Mei 2014

ANALISIS NASKAH DRAMA KERETA KENCANA KARYA EUGENE IONESCO TERJEMAHAN W.S RENDRA



1.      Pendahuluan
Drama merupakan salah satu genre sastra yang menarik untuk dibahas. Istilah drama berasal dari Yunani, yaitu dramoi yang berarti ‘aksi’ atau ‘perbuatan’. Istilah drama itu sendiri sudah menyiratkan makna ‘peristiwa’, ‘karangan’, dan ‘risalah’.
Drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di anatara tokoh-tokoh yang ada. Drama juga secara eksplisit memperlihatkan adanya petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan tokoh (Hall dalam Wahyudi, 2006: 104).
Drama pada awalnya digunakan dalam suatu ritual pemujaan terhadap para dewa. Akan tetapi, ritual tersebut mengalami perkembangan menjadi oratoria, yaitu seni berbicara, kemudian berkembang menjadi drama.
2.      Analisis Drama Kereta Kencana

2.1  Psikologi Sastra
Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah manusia. Lewat tinjauan psikologi akan nampak bahwa fungsi dan peran sastra adalah untuk menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya atau paling tidak untuk memancarkan bahwa karya sastra pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan manusia (Andre Hardjana, 1985:66).
Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut psikologi. Perhatiannya dapat diarahkan kepada pengarang, dan pembaca (psikologi komunikasi sastra) atau kepada teks itu sendiri (Dick Hartoko dan B. Rahmanto, 1986:126).
Sementara Wellek-Warren menyatakan bahwa ada empat kemungkinan dalam pemahaman psikologi sastra, yakni: (1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pembeda, (2) Studi proses kreatif, (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan (4) Studi yang mempelajari dampak sastra pada pembaca atau psikologi pembaca (Wellek, Rene dan Austin Warren, 1989:90).
Hubungan antara psikologi dengan sastra sebenarnya telah lama ada, namun penggunaan psikologi sebagai sebuah pendekatan dalam penelitian sastra belum lama dilakukan, menurut Robert Downs (1961:1949, dalam Abdul Rahman, (2003:1), bahwa psikologi itu sendiri bekerja pada suatu wilayah yang gelap, mistik dan yang paling peka terhadap bukti-bukti ilmiah. 
Psikologi dalam karya sastra mempunyai kaitan yang tercakup dalam dua aspek yaitu : Unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Aspek ekstrinsik berbicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan faktor-faktor kepengarangan dan proses kreativitasnya. Sementara unsur intrinsik membicarakan tentang unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam karya sastra seperti unsur tema, perwatakan dan plot. 
Darmanto Jatman ((1985:165) berpendapat bahwa karya sastra dan psikologi memang memiliki pertautan yang erat, secara tak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung karena, baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional karena, sama-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi, gejala tersebut riil, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif. 
Dalam kaitannya dengan psikologi dalam karya sastra, Carld G. Jung menandaskan bahwa karena psikologi mempelajari proses-proses kejiwaan manusia, maka psikologi dapat diikutsertakan dalam studi sastra, sebab jiwa manusia merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan dan kesenian. 

Pikologi Pengarang 
Yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan pengarang, menurut Wright (1991:146) adalah mencermati sastra sebagai analog, fantasi percobaan simtom penulis tertentu. Selanjutnya, peneliti dapat memahami beberapa jauh fantasi bergulir dalam sastra. Fantasi adalah permainan ketaksadaran yang bermanfaat. Persoalan penelitian semacam ini perlu hati-hati, sehingga akan dapat ditemukan fantasi natural. Fantasi kejiwaan kadang-kadang tidak masuk akal, tetapi dalam sastra, sah-sah saja. 
Keadaan psikis pengarang adalah suasana unik. Pengarang hidup dalam suasana yang lain dari yang lain. Pada realita semacam ini, tugas peneliti psikologi sastra hendaknya lebih menukik sampai hal-hal yang bersifat pribadi. Hal personal itu dikaitkan dengan sastra yang dihasilkan. Dari sini bisa memunculkan aneka tipe kepengarangan. 
Menurut Ahmad Tohari, sastrawan juga dapat dibagi ke dalam dua tipe psikologis, yaitu sastrawan yang “kesurupan” (possessed) yang penuh emosi, menulis dengan spontan dan yang meramal masa depan dan sastrawan “pengrajin” (maker) yang penuh keterampilan, terlatih dan bekerja dengan serius dan penuh tanggung jawab. 
Psikobudaya adalah kondisi pengarang yang tidak lepas dari aspek budaya. Kejiwaan pengarang dituntun oleh kondisi budayanya. Pengarang yang bebas samasekali dari faktor budaya, hampir tidak ada pengarang tidak lepas dari budaya, pribadi dan moral yang mengitari jiwanya. Oleh karena itu, kreativitas pengarang sebenarnya merupakan “cetak ulang” dari jiwanya. 
Dari faktor budaya psikologis demikian, dapat dimengerti bahwa pengarang tidak tunggal. Pengarang adalah pribadi yang multirupa. Jiwa pengarang dapat diubah atau mengubah budaya. Dalam konteks ini berarti peneliti psikologi sastra perlu memperhatikan aspek budaya disekitar pengarang. Pengarang yang hidup dalam lingkup budaya, kelas, marginal, ketidakadilan tentu berbeda karyanya. Budaya kota dan desa juga akan membentuk pengarang. 

Psikologis Kreativitas Cipta Sastra 
Dorongan kejiwaan tidak bisa dianggap remeh. Kejiwaan ada yang meledak-ledak, ada yang keras, murung, sensasional dan seterusnya. Dorongan ini akan menentukan bagaimana proses kreatif sastra akan terwujud. Proses kreatif adalah daya juang kejiwaan sastra menuju titk tertentu. Proses kreatif akan ditentukan pula oleh etos sastrawan. 
Terbentuknya karya sastra hampir seluruhnya melalui proses kreatif yang panjang, namun panjang dan pendeknya proses ini amat relatif, tergantung kesiapan psikologis sastrawan. Tiap karya memerlukan proses yang berbeda satu dengan yang lain. 

Psikologi Pembaca 
Agak sulit untuk menemukan istilah yang tepat untuk mewadahi konteks psikologi sastra yang terkait dengan resepsi pembaca terhadap sastra. Wilayah psikologi yang berhubungan dengan pembaca memang masih pelik. Ada yang berpendapat, wilayah ini sebenarnya studi sastra, melainkan peneliti pembaca. Pendapat ini tampaknya juga sulit dipertanggungjawabkan sebab bagaimanapun pembaca adalah bagian dari kutub sastra. 
Resepsi pembaca secara psikologis pasti akan terjadi dibandingkan dengan resepsi lain. Penerimaan nilai sastra biasanya justru berasal dari aspek psikologis. Dengan modal kejiwaan, karya sastra akan meresap secara halus keadaan diri pembaca. Oleh sebab itu, pembaca yang bagus tentu mampu meneladani aspek-aspek penting dalam sastra. Nilai-nilai dalam sastra yang mampu membentuk sikap dan perilaku, akan diinternalisasikan dalam diri pembaca. 
Resepsi atau penerimaan sastra oleh pembaca bisa berbeda-beda tafsirnya. Sastra ibarat sebuah surat berharga yang dialamatkan kepada penerima pesan. Namun, dalam sastra ada sejumlah kode-kode psikologis yang bisa memunculkan persepsi lain. Perbedaan nilai yang menuntut kebebasan tafsir. Tafsir yang beragam dan plural, akan memperkaya pesan. Tafsir psikologis akan membangkitkan imajinasi yang berharga. Pembaca bebas bermain imajinasi. Dari situlah pula bebas menciptakan dunianya. 

Psikologi Dalam Sastra itu Sendiri
Persoalan psikologis yang dapat dikaji dari dalam karya sastra itu sendiri adalah persoalan tokoh dan penolohan. Tokoh adalah figur yang dikenal dan sekaligus mengenai tindakan psikologis dalam peristiwa dalam cerita. Dia adalah “eksekutor” dalam sastra. 
Tokoh biasa terdapat dalam prosa dan drama. Tokoh-tokoh yang muncul dibangun untuk melakukan sebuah objek. Tokoh yang termaksud secara psikologis menjadi wakil sastrawan, sastrawan kadang-kadang menyelinapkan pesan lewat tokoh. Pembicaraan tokoh bisa dianggap campuran dari tokoh tipe yang sudah ada dalam tradisi sastra, tokoh menjadi cermin diri sastrawan. Penggarapan tokoh yang matang akan menukik dalam protret diri. Tokoh yang digarap kental, dengan perwatakan yang memukau, akan menjadi daya tarik khusus. Tokoh tersebut tergolong orang-orang yang diamati oleh pengarang, dan pengarang sendiri akan masuk secara alamiah dalam karyanya.
2.2  Analisis Psikologi dari pembaca
2.2.1        Romantisme Kereta Kencana
Kereta Kencana diawali dengan hadirnya bunyi desau angin dan siluet-siluet di panggung dengan layar putih. Derap kaki kuda dari sebuah kereta kencana yang semakin mendekat terdengar semakin keras. Lalu terdengar pula sebuah suara, “Wahai dengarlah kau orang tua yang selalu bergandengan dan bercinta,siang dan malam bergandengan dua abad lamanya.
Kereta kencana akan datang menjemput, dengan sepuluh kuda dengan satu warna,” Kata suara yang muncul dari belakang panggung”. Sementara itu, seorang lakilaki tua duduk di atas sebuah kursi dalam kegelapan. Seorang perempuan tua yang diperankan oleh Niniek L Karim,tertatih membawa lampu templok.Menyalakan lampu ruangan dan bertanya-tanya kepada suaminya mengapa duduk melamun dalam kegelapan.
Ketika lampu menyala, guratan resah terlihat di wajah suaminya, bernama Hendri yang dilakonkan oleh Ikranagara. Setelah lampu dinyalakan, pasangan suami–istri yang digambarkan hanya hidup berdua saja, membahas tentang sebuah kereta kencana yang semakin sering saja terlihat dan terdengar.
“Mendengar kedatangan kereta kencana itu, tubuhku berkeringat, bukankah itu artinya kita akan mati bersama,” Kata sang suami mencoba menenangkan diri dari ketakutan. Jarum jam berdentang satu kali,Hendri membuka jendela dan desau angin dingin terdengar. “Kalau saat itu tiba, beginilah rasanya,” katanya lagi.Walaupun juga mengalami keresahan dan sedikit takut.
Namun, pasangan suami istri yang telah renta itu tetap berdialog dan saling menghibur.“Senyumlah sayangku,senyum di saat ini adalah sebuah kebudayaan,” Kata sang istri membujuk suaminya agar menutup jendela agar desau angin tidak masuk ke dalam rumah. Untuk mengisi kekosongan dan kesepian hari-hari tua tanpa seorang buah hati pun, pasangan suami–istri renta itu saling menghibur diri.
Mereka kemudian bermain badut dengan layangan. Mereka bisa tertawa bahagia sambil mengenang masa muda mereka yang telah berlalu. Pentas Kereta Kencana yang disutradarai oleh Putu Wijaya, berhasil menghibur penonton dengan menyisipkan lelucon dan humor segar dalam adegan teater mereka. Apalagi ketika sang suami menawarkan minuman bagi istrinya. “Mau anggur,brendi atau arak atau teh poci dari Jawa.
Teh ini dibuat dengan teknologi purba dan telah dipatenkan oleh PBB,” katanya disambut heboh tawa di bangku penonton. Tiba-tiba keceriaan mereka hilang, pasangan suami–istri renta itu mulai menangis, menyesali bahwa mereka tidak punya anak, walaupun telah dua abad menikah. Dalam sepi masa tua, pasangan itu mulai mendongeng tentang masa lalu. “Setelah pengembaraan panjang, kita sampai di sebuah gerbang, kita basah kuyup, tubuh menggigil, gigi gemeletuk.
Kita minta gerbang itu dibuka, tapi mereka tidak mau. Di balik gerbang itu ada padang rumput, ada kebun, taman dan bunga.Tapi kita tidak bisa masuk dan kita mengembara lagi selama 125 tahun,” Kata Hendri mengenang derita yang telah mereka lewati bersama di waktu muda”.
“Sekarang semua itu sudah hancur yang tinggal sekarang adalah lagu nina bobok,” kata mereka.Ketika melantunkan lagu nina bobok,Hendri mulai mengantuk dan tertidur. Namun,ketukan di pintu mengagetkan pasangan itu. Ternyata mereka kedatangan tamu yang mereka sebut paduka.
“Saya tidak pernah jadi menteri paduka karena saya hanya punya satu wajah.Tapi mereka para politikus punya 1001 muka,” kata Andri kembali disambut heboh tawa penonton. Ketukan di pintu, kembali mengagetkan mereka. Ternyata tamu yang datang adalah anakanak yang ingin bertamu.
Setelah semua masuk, Hendri berpidato tentang sebuah kereta kencana yang akan menjemput mereka berdua.Ketukan di pintu kembali terdengar. Ternyata yang datang adalah penguasa cahaya. Walaupun tamu-tamu yang datang adalah tamu yang tanpa wujud.
Namun, kepiawain dua aktor senior ini berakting, membuat seakan-akan mereka tengah menyambut tamu sesungguhnya.Juga ketika tamu anak-anak datang dan meramaikan rumah. Kepanikan suami istri yang merasa tidak bisa menerima tamu dalam jumlah banyak karena rumah mereka yang kecil terlihat.
3.      Kesimpulan
Bahwa hidup akan berpindah ke tempat yang akan dibawa oleh ”Kereta Kencana”, yaitu suatu tempat yang penuh ”cahaya terang dan kebenaran” yang antara lain menyediakan ruang bagi kenikmatan cinta yang tidak badaniah yang abadi. Sedangkan hidup di dunia ini pun tetap memberikan ruang kepada makna patriotisme, perjuangan menegakkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, dan segala yang baik. Tampaknya dengan karyanya ini Rendra menyatakan tidak sejalan dengan pandangan absurdisme, termasuk yang ada di dalam karya Ionesco itu. Dengan kata lain, Rendra mengkritisi dengan kreatif karya teks ”The Chairs” itu. Kalaupun hendak dicari rujukannya di dalam percaturan pemikiran filosofis di Barat, maka pandangan Rendra dalam ”Kereta Kencana” bisa diperoleh dalam wacana Eksistensialisme Berketuhanan (Theistic Existentialism) Soren Kierkegaard, yang memandang dalam hidup yang absurd/kosong/sia-sia sekalipun bisa dimungkinkan ditemukannya adanya makna lewat faith alias kepercayaan/keyakinan/ spiritualisme/agama ataupun ideologi sekuler.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa dalam ”Kereta Kencana” itu diungkapkan pandangan Absurdisme itu dianut oleh Kakek, pada awalnya. Antara lain pernyataannya bahwa hidup ini hampa dan sia-sia dan kosong. Dalam perjalanan cerita di pentas, Nenek berhasil menggiring Kakek memeluk sebuah faith, yang akhirnya Kakek meninggalkan pandangan tersebut, dan yakin hidup ini bermakna.
4.      Daftar Pustaka
http://cabiklunik.blogspot.com/2009/11/membandingkan-chairs-ionesco-dengan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar