1. Pendahuluan
Drama
merupakan salah satu genre sastra yang menarik untuk dibahas. Istilah drama
berasal dari Yunani, yaitu dramoi yang berarti ‘aksi’
atau ‘perbuatan’. Istilah drama itu sendiri sudah menyiratkan makna
‘peristiwa’, ‘karangan’, dan ‘risalah’.
Drama adalah
sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal
adanya dialogue atau cakapan di anatara tokoh-tokoh yang
ada. Drama juga secara eksplisit memperlihatkan adanya petunjuk pemanggungan
yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan
tokoh (Hall dalam Wahyudi, 2006: 104).
Drama pada
awalnya digunakan dalam suatu ritual pemujaan terhadap para dewa. Akan tetapi,
ritual tersebut mengalami perkembangan menjadi oratoria, yaitu
seni berbicara, kemudian berkembang menjadi drama.
2.
Analisis
Drama Kereta Kencana
2.1 Psikologi
Sastra
Psikologi sastra merupakan suatu
pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah
manusia. Lewat tinjauan psikologi akan nampak bahwa fungsi dan peran sastra
adalah untuk menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya dan
sehidup-hidupnya atau paling tidak untuk memancarkan bahwa karya sastra pada
hakikatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan manusia (Andre Hardjana,
1985:66).
Psikologi sastra adalah cabang ilmu
sastra yang mendekati sastra dari sudut psikologi. Perhatiannya dapat diarahkan
kepada pengarang, dan pembaca (psikologi komunikasi sastra) atau kepada teks
itu sendiri (Dick Hartoko dan B. Rahmanto, 1986:126).
Sementara Wellek-Warren menyatakan
bahwa ada empat kemungkinan dalam pemahaman psikologi sastra, yakni:
(1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pembeda, (2) Studi proses
kreatif, (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada
karya sastra, dan (4) Studi yang mempelajari dampak sastra pada pembaca
atau psikologi pembaca (Wellek, Rene dan Austin Warren, 1989:90).
Hubungan antara psikologi dengan sastra sebenarnya telah
lama ada, namun penggunaan psikologi sebagai sebuah pendekatan dalam penelitian
sastra belum lama dilakukan, menurut Robert Downs (1961:1949, dalam Abdul
Rahman, (2003:1), bahwa psikologi itu sendiri bekerja pada suatu wilayah yang
gelap, mistik dan yang paling peka terhadap bukti-bukti ilmiah.
Psikologi dalam karya sastra
mempunyai kaitan yang tercakup dalam dua aspek yaitu : Unsur intrinsik dan
unsur ekstrinsik. Aspek ekstrinsik berbicara tentang hal-hal yang berkaitan
dengan faktor-faktor kepengarangan dan proses kreativitasnya. Sementara unsur
intrinsik membicarakan tentang unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam karya
sastra seperti unsur tema, perwatakan dan plot.
Darmanto Jatman ((1985:165)
berpendapat bahwa karya sastra dan psikologi memang memiliki pertautan yang
erat, secara tak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung karena, baik
sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia.
Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional karena, sama-sama untuk
mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi, gejala
tersebut riil, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif.
Dalam kaitannya dengan psikologi
dalam karya sastra, Carld G. Jung menandaskan bahwa karena psikologi
mempelajari proses-proses kejiwaan manusia, maka psikologi dapat diikutsertakan
dalam studi sastra, sebab jiwa manusia merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan
dan kesenian.
Pikologi Pengarang
Yang perlu dikaji dalam kaitannya
dengan pengarang, menurut Wright (1991:146) adalah mencermati sastra sebagai
analog, fantasi percobaan simtom penulis tertentu. Selanjutnya, peneliti dapat
memahami beberapa jauh fantasi bergulir dalam sastra. Fantasi adalah permainan
ketaksadaran yang bermanfaat. Persoalan penelitian semacam ini perlu hati-hati,
sehingga akan dapat ditemukan fantasi natural. Fantasi kejiwaan kadang-kadang
tidak masuk akal, tetapi dalam sastra, sah-sah saja.
Keadaan psikis pengarang adalah
suasana unik. Pengarang hidup dalam suasana yang lain dari yang lain. Pada
realita semacam ini, tugas peneliti psikologi sastra hendaknya lebih menukik
sampai hal-hal yang bersifat pribadi. Hal personal itu dikaitkan dengan sastra
yang dihasilkan. Dari sini bisa memunculkan aneka tipe kepengarangan.
Menurut Ahmad Tohari, sastrawan juga
dapat dibagi ke dalam dua tipe psikologis, yaitu sastrawan yang “kesurupan”
(possessed) yang penuh emosi, menulis dengan spontan dan yang meramal masa
depan dan sastrawan “pengrajin” (maker) yang penuh keterampilan, terlatih dan
bekerja dengan serius dan penuh tanggung jawab.
Psikobudaya adalah kondisi pengarang
yang tidak lepas dari aspek budaya. Kejiwaan pengarang dituntun oleh kondisi
budayanya. Pengarang yang bebas samasekali dari faktor budaya, hampir tidak ada
pengarang tidak lepas dari budaya, pribadi dan moral yang mengitari jiwanya.
Oleh karena itu, kreativitas pengarang sebenarnya merupakan “cetak ulang” dari
jiwanya.
Dari faktor budaya psikologis
demikian, dapat dimengerti bahwa pengarang tidak tunggal. Pengarang adalah
pribadi yang multirupa. Jiwa pengarang dapat diubah atau mengubah budaya. Dalam
konteks ini berarti peneliti psikologi sastra perlu memperhatikan aspek budaya
disekitar pengarang. Pengarang yang hidup dalam lingkup budaya, kelas,
marginal, ketidakadilan tentu berbeda karyanya. Budaya kota dan desa juga akan
membentuk pengarang.
Psikologis Kreativitas Cipta Sastra
Dorongan kejiwaan tidak bisa
dianggap remeh. Kejiwaan ada yang meledak-ledak, ada yang keras, murung,
sensasional dan seterusnya. Dorongan ini akan menentukan bagaimana proses
kreatif sastra akan terwujud. Proses kreatif adalah daya juang kejiwaan sastra
menuju titk tertentu. Proses kreatif akan ditentukan pula oleh etos
sastrawan.
Terbentuknya karya sastra hampir
seluruhnya melalui proses kreatif yang panjang, namun panjang dan pendeknya
proses ini amat relatif, tergantung kesiapan psikologis sastrawan. Tiap karya
memerlukan proses yang berbeda satu dengan yang lain.
Psikologi Pembaca
Agak sulit untuk menemukan istilah
yang tepat untuk mewadahi konteks psikologi sastra yang terkait dengan resepsi
pembaca terhadap sastra. Wilayah psikologi yang berhubungan dengan pembaca
memang masih pelik. Ada yang berpendapat, wilayah ini sebenarnya studi sastra,
melainkan peneliti pembaca. Pendapat ini tampaknya juga sulit
dipertanggungjawabkan sebab bagaimanapun pembaca adalah bagian dari kutub
sastra.
Resepsi pembaca secara psikologis
pasti akan terjadi dibandingkan dengan resepsi lain. Penerimaan nilai sastra
biasanya justru berasal dari aspek psikologis. Dengan modal kejiwaan, karya
sastra akan meresap secara halus keadaan diri pembaca. Oleh sebab itu, pembaca
yang bagus tentu mampu meneladani aspek-aspek penting dalam sastra. Nilai-nilai
dalam sastra yang mampu membentuk sikap dan perilaku, akan diinternalisasikan
dalam diri pembaca.
Resepsi atau penerimaan sastra oleh
pembaca bisa berbeda-beda tafsirnya. Sastra ibarat sebuah surat berharga yang
dialamatkan kepada penerima pesan. Namun, dalam sastra ada sejumlah kode-kode
psikologis yang bisa memunculkan persepsi lain. Perbedaan nilai yang menuntut
kebebasan tafsir. Tafsir yang beragam dan plural, akan memperkaya pesan. Tafsir
psikologis akan membangkitkan imajinasi yang berharga. Pembaca bebas bermain
imajinasi. Dari situlah pula bebas menciptakan dunianya.
Psikologi Dalam Sastra itu Sendiri
Persoalan psikologis yang dapat
dikaji dari dalam karya sastra itu sendiri adalah persoalan tokoh dan penolohan. Tokoh
adalah figur yang dikenal dan sekaligus mengenai tindakan psikologis dalam
peristiwa dalam cerita. Dia adalah “eksekutor” dalam sastra.
Tokoh
biasa terdapat dalam prosa dan drama. Tokoh-tokoh yang muncul dibangun untuk
melakukan sebuah objek. Tokoh yang termaksud secara psikologis menjadi wakil
sastrawan, sastrawan kadang-kadang menyelinapkan pesan lewat tokoh. Pembicaraan
tokoh bisa dianggap campuran dari tokoh tipe yang sudah ada dalam tradisi
sastra, tokoh menjadi cermin diri sastrawan. Penggarapan tokoh yang matang akan
menukik dalam protret diri. Tokoh yang digarap kental, dengan perwatakan yang
memukau, akan menjadi daya tarik khusus. Tokoh tersebut tergolong orang-orang
yang diamati oleh pengarang, dan pengarang sendiri akan masuk secara alamiah
dalam karyanya.
2.2 Analisis Psikologi dari pembaca
2.2.1
Romantisme Kereta Kencana
Kereta
Kencana diawali dengan hadirnya bunyi desau angin dan siluet-siluet di panggung
dengan layar putih. Derap kaki kuda dari sebuah kereta kencana yang semakin
mendekat terdengar semakin keras. Lalu terdengar pula sebuah suara, “Wahai
dengarlah kau orang tua yang selalu bergandengan dan bercinta,siang dan malam bergandengan
dua abad lamanya.
Kereta kencana akan datang menjemput, dengan sepuluh
kuda dengan satu warna,” Kata suara yang muncul dari belakang panggung”.
Sementara itu, seorang lakilaki tua duduk di atas sebuah kursi dalam kegelapan.
Seorang perempuan tua yang diperankan oleh Niniek L Karim,tertatih membawa
lampu templok.Menyalakan lampu ruangan dan bertanya-tanya kepada suaminya
mengapa duduk melamun dalam kegelapan.
Ketika lampu menyala, guratan resah terlihat di
wajah suaminya, bernama Hendri yang dilakonkan oleh Ikranagara. Setelah lampu
dinyalakan, pasangan suami–istri yang digambarkan hanya hidup berdua saja,
membahas tentang sebuah kereta kencana yang semakin sering saja terlihat dan
terdengar.
“Mendengar kedatangan kereta kencana itu, tubuhku
berkeringat, bukankah itu artinya kita akan mati bersama,” Kata sang suami
mencoba menenangkan diri dari ketakutan. Jarum jam berdentang satu kali,Hendri
membuka jendela dan desau angin dingin terdengar. “Kalau saat itu tiba,
beginilah rasanya,” katanya lagi.Walaupun juga mengalami keresahan dan sedikit
takut.
Namun, pasangan suami istri yang telah renta itu
tetap berdialog dan saling menghibur.“Senyumlah sayangku,senyum di saat ini
adalah sebuah kebudayaan,” Kata sang istri membujuk suaminya agar menutup
jendela agar desau angin tidak masuk ke dalam rumah. Untuk mengisi kekosongan
dan kesepian hari-hari tua tanpa seorang buah hati pun, pasangan suami–istri
renta itu saling menghibur diri.
Mereka kemudian bermain badut dengan layangan.
Mereka bisa tertawa bahagia sambil mengenang masa muda mereka yang telah
berlalu. Pentas Kereta Kencana yang disutradarai oleh Putu Wijaya, berhasil
menghibur penonton dengan menyisipkan lelucon dan humor segar dalam adegan
teater mereka. Apalagi ketika sang suami menawarkan minuman bagi istrinya. “Mau
anggur,brendi atau arak atau teh poci dari Jawa.
Teh ini dibuat dengan teknologi purba dan telah
dipatenkan oleh PBB,” katanya disambut heboh tawa di bangku penonton. Tiba-tiba
keceriaan mereka hilang, pasangan suami–istri renta itu mulai menangis,
menyesali bahwa mereka tidak punya anak, walaupun telah dua abad menikah. Dalam
sepi masa tua, pasangan itu mulai mendongeng tentang masa lalu. “Setelah
pengembaraan panjang, kita sampai di sebuah gerbang, kita basah kuyup, tubuh
menggigil, gigi gemeletuk.
Kita minta gerbang itu dibuka, tapi mereka tidak
mau. Di balik gerbang itu ada padang rumput, ada kebun, taman dan bunga.Tapi
kita tidak bisa masuk dan kita mengembara lagi selama 125 tahun,” Kata Hendri
mengenang derita yang telah mereka lewati bersama di waktu muda”.
“Sekarang semua itu sudah hancur yang tinggal
sekarang adalah lagu nina bobok,” kata mereka.Ketika melantunkan lagu nina
bobok,Hendri mulai mengantuk dan tertidur. Namun,ketukan di pintu mengagetkan
pasangan itu. Ternyata mereka kedatangan tamu yang mereka sebut paduka.
“Saya tidak pernah jadi menteri paduka karena saya
hanya punya satu wajah.Tapi mereka para politikus punya 1001 muka,” kata Andri
kembali disambut heboh tawa penonton. Ketukan di pintu, kembali mengagetkan
mereka. Ternyata tamu yang datang adalah anakanak yang ingin bertamu.
Setelah semua masuk, Hendri berpidato tentang sebuah
kereta kencana yang akan menjemput mereka berdua.Ketukan di pintu kembali
terdengar. Ternyata yang datang adalah penguasa cahaya. Walaupun tamu-tamu yang
datang adalah tamu yang tanpa wujud.
Namun, kepiawain dua aktor senior ini berakting,
membuat seakan-akan mereka tengah menyambut tamu sesungguhnya.Juga ketika tamu
anak-anak datang dan meramaikan rumah. Kepanikan suami istri yang merasa tidak
bisa menerima tamu dalam jumlah banyak karena rumah mereka yang kecil terlihat.
3.
Kesimpulan
Bahwa hidup akan berpindah ke tempat yang akan
dibawa oleh ”Kereta Kencana”, yaitu suatu tempat yang penuh ”cahaya terang dan
kebenaran” yang antara lain menyediakan ruang bagi kenikmatan cinta yang tidak
badaniah yang abadi. Sedangkan hidup di dunia ini pun tetap memberikan ruang
kepada makna patriotisme, perjuangan menegakkan nilai-nilai luhur kemanusiaan,
dan segala yang baik. Tampaknya dengan karyanya ini Rendra menyatakan tidak
sejalan dengan pandangan absurdisme, termasuk yang ada di dalam karya Ionesco
itu. Dengan kata lain, Rendra mengkritisi dengan kreatif karya teks ”The
Chairs” itu. Kalaupun hendak dicari rujukannya di dalam percaturan pemikiran
filosofis di Barat, maka pandangan Rendra dalam ”Kereta Kencana” bisa diperoleh
dalam wacana Eksistensialisme Berketuhanan (Theistic Existentialism) Soren
Kierkegaard, yang memandang dalam hidup yang absurd/kosong/sia-sia sekalipun
bisa dimungkinkan ditemukannya adanya makna lewat faith alias
kepercayaan/keyakinan/ spiritualisme/agama ataupun ideologi sekuler.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa dalam ”Kereta
Kencana” itu diungkapkan pandangan Absurdisme itu dianut oleh Kakek, pada
awalnya. Antara lain pernyataannya bahwa hidup ini hampa dan sia-sia dan
kosong. Dalam perjalanan cerita di pentas, Nenek berhasil menggiring Kakek
memeluk sebuah faith, yang akhirnya Kakek meninggalkan pandangan tersebut, dan
yakin hidup ini bermakna.
4.
Daftar
Pustaka
http://cabiklunik.blogspot.com/2009/11/membandingkan-chairs-ionesco-dengan.html